“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah penanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji..” (QS Al Baqarah: 189)
Warangka Wulan Tumanggal adalah gambaran bulan sabit yang distilisasi. Wulan artinya rembulan. Tumanggal artinya menjadi penanda waktu masuknya tanggal baru, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.
Dalam sejarah, bentuk bulan sabit pernah digunakan untuk merepresentasikan panji-panji Kesultanan Islam. Salah satu puncaknya adalah masa Daulah Turki ‘Utsmaniyah, di mana gambar bulan sabit menghias bendera, pataka, hingga diderivatkan pada berbagai lambang yang dipakai baik institusi sipil maupun militer.
Di Nusantara, sebagai bagian kebanggaan akan hidayah Allah dan syiar agama; dari masa Demak hingga bertakhtanya Sultan Agung di Mataram, konon ramai khalayak mengenakan warangka yang berbentuk Wulan Tumanggal bagi keris mereka. Dalam berbagai referensi malah digambarkan bahwa panji Mataram adalah keris bersilang dengan bulan sabit di atasnya berlatar warna merah.
Dengan Perjanjian Giyanti pada 1755 membagi Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, terjadi pemisahan budaya. Yogyakarta di bawah Sultan HB I meneruskan tradisi Mataraman, sementara Surakarta di bawah Sunan PB III melakukan yasa enggal, membuat kreasi baru. Maka di Yogyakarta bertahan warangka keris Gayaman dan Branggah dengan dedernya, sementara Gayaman dan Ladrang Surakarta tercipta dengan jejerannya.
Pada warangka Wulan Tumanggal sinungging motif Modang ini kami coba eksperiman memasang deder Nunggak Semi Lempuyangan, deder Yogyakarta, dan Jejeran nunggak semi Surakarta. Ternyata masih cocok secara proporsi estetisnya. Bahkan diduga, jejeran Narada Kandha, Jawa Timuran, ukir Madura, hingga Cirebonan, masih masuk juga. Ke depan insyaallah akan kami coba jika tersedia stok aneka handle-nya.
Wulan Tumanggal alias bulan sabit bisa menjadi simbol wadah persatuan bagi kita, sebagaimana pekik takbir dan rahmat Allah mengantar Nusantara ke gerbang kemerdekaannya.