MENOL

Bangsal Sitihinggil, Keraton Yogyakarta, 11 Juni 1823

Dengan langkah mantap, sang Pangeran yang bersurjan wulung langsung menuju ke mahligai takhta lalu berjongkok. Smissaert yang mengira Sang Wali Sultan hendak menyembah padanya tersenyum, sementara Chevallier menyeringai. Tapi Dipanegara mengangsurkan tangannya ke depan, dan Sang Sultan cilik dengan wajah ceria tetiba menghambur ke pelukan Uwaknya itu.

Sang Pangeran menggendong keponakannya, mendukungnya ke pundak, dan mengelus-elus punggungnya dengan lembut. Seluruh hadirin takjub melihat bagaimana kharisma Sang Pangeran bahkan begitu merasuk ke dalam sanubari Sultan Hamengkubuwana V.

“Sayang sekali, Nanda Dipanegara datang terlambat”, suara Ratu Hageng yang kini terdengar bergetar, bukan kenes, menggema dari dalam tabir. “Kami tidak punya pilihan selain memohon agar Tuan Residen Smissaert yang memangku Cucunda Sultan, demi menghindarkan kesalahfahaman dan iri hati.”

“Saya mengerti, Ibunda Ratu”, sahut Dipanegara sambil mengulum senyum setengah kesalnya. “Dan Tuan Chevallier tidak perlu khawatir, saya takkan meminta prosesi tadi diulang. Semua sudah cukup. Maka paseban Garebeg Syawal ini sebaiknya segera kita akhiri. Dan tamu kehormatan utamalah, yang pertama dimohon untuk sudi meninggalkan tempat ini.”

Pengusiran halus itu membuat Pangeran Mangkubumi menahan kikik tawanya. Di antara anggota Dinasti Hamengkubuwana, putra Raden Ayu Mangkarawati itulah yang paling banyak mewarisi sifat Sultan Suwargi pendiri Keraton Yogyakarta ketika berhadapan dengan Belanda.

“Tadi Ngarsa Dalem Sultan ketika dipangku Tuan Residen Smissaert belum selesai menerima sungkem bekti dari para sentana maupun nayaka, Kangjeng Pangeran”, ujar Patih Danureja beruluk sembah dari kursinya. “Bagaimana kalau kita lanjutkan acaranya dengan Tuan Residen didampingi Kanjeng Pangeran di takhta, dan berdua bersama-sama memangku Ngarsa Dalem?

“Bukankah tadi dikatakan oleh Tuan Chevallier, acara sudah dicukupkan?”, Sang Pangeran kembali tersenyum. “Bagaimana pendapat Ibunda Ratu Hageng? Apakah Ananda masih harus naik ke dhampar bersama Sinuhun Menol? Ah, masyaallah. Sayang sekali, beliau sudah tertidur di pundak saya sekarang.”

“Ananda Dipanegara benar”, sahut Ratu Hageng lagi-lagi dengan bergetar. “Yang tadi saya kira sudah cukup. Sumangga, para tetamu sudah dapat meninggalkan tempat ini. Ananda Ratu Kencana, ambil putramu dari Kangjeng Pangeran Dipanegara. Anak itu kelelahan menangis sejak tadi, makanya sampai tertidur di pelukan Uwaknya.”

“Cucunda Sultan tahu kepada siapa seharusnya bersandar dan merasa nyaman”, sahut Pangeran Mangkubumi.

“Ratu Kencana, segera!”

“Injih, Kanjeng Ibu…”

Berjalan dalam langkah malu-malu dan melirik sebentar ke arah ayahnya, Patih Danureja, Ratu Kencana mendekat ke arah mahligai takhta. Di sana, Smissaert dan Chevallier masih mengapit Dipanegara. Sang Residen kikuk, Asistennya salah tingkah. Adapun Ratu Kencana justru tak sanggup menatap ke arah kakak dari almarhum suaminya.

Ratu Hageng sudah pernah mengupayakan agar dia dinikahkan dengan Dipanegara. Ya, sosok gagah dan kharismatik itu tentu akan menjadi pengisi hidup yang sempurna baginya setelah menjanda akibat wafatnya Hamengkubuwana IV secara misterius saat berpesiar tahun lalu. Lagi pula, Si Menol, Sultan bocah itu begitu cocok dengan Uwaknya. Tapi sungguh malang, Dipanegara, sahabat mengaji ayahnya di masa muda itu telah menolaknya.

Dipanegara justru memilih menikahi Raden Ayu Maduretna, putri mendiang Raden Rangga Prawiradirja III Madiun si pemberontak dari hasil pernikahannya dengan putri Sultan Hamengkubuwana II.

Menerima si Sultan bocah dari uluran tangan Dipanegara dengan gemetar, Ratu Kencana mundur dengan tergesa. Ketika langkahnya, nyaris terserimpet kain bawahan, si Asisten Residen kembali mengambil keuntungan dengan menahan badannya disertai seringai senyum penuh nafsu. Malang baginya, sang putra terbangun dari tidur dan kembali menangis. Sambil menahan malu, setengah berlari Ratu Kencana masuk ke balik tabir.
_____________
Disunting dengan banyak pengurangan dari calon novel ‘Sang Pangeran dan Janissary Terakhir’. Menyambut ajakan Mas Unggul Sudrajat untuk menyandhang #keris saat bepergian, kali ini sebilah Jalak Tilam Sari tinangguh HB V, warangka Branggah Trembalo Iras Dharmo Nembungan, mendhak jene berlian kenanga, pendhok blewah cukitan, deder kemuning werut; menemani ke Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu.


Posted

in

, ,

by