“…Karena jiwa tidak akan pernah menang,
Dalam semua kecamuk perang,
Kecuali setelah ia menang dalam pertempuran rasa,
Pertarungan akhlak, dan pergulatan manhaj…”
-Sayyid Quthb, Fii Zhilaalil Qur’an-
Semakin banyak manusia berhimpun, maka akan semakin terlihat betapa beragamnya mereka. Perbedaan-perbedaan tak terelakkan baik dalam merasa, memperhatikan, memikirkan, menelaah, mengambil sikap, maupun bertindak. Maka hidup berjama’ah sekokoh janji, selalu memerlukan suatu ikhtiar agar perbedaan-perbedaan itu tak perlu mengguncang apalagi merenggangkan dekapan ukhuwah.
“Perbedaan,” kata Ust. Anis Matta dalam Menikmati Demokrasi, “Adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjama’ah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan.” Nah, bagaimana mengelola perbedaan itu agar benar-benar menjadi kekayaan? Apakah Allah dan RasulNya menetapkan satu mekanisme untuk menyelesaikan soal ini?
Dalam dekapan ukhuwah, mari kita mulai menelusurinya dari titik ketika kebersamaan menghadapi kekalahan.
“Apa makna sebuah kekalahan?” begitu seorang kawan berbisik ketika menyeksamai penilaian hasil kerja da’wah kami. Saya helakan nafas panjang membersamainya. Lalu kata-kata saya berlayar ke kedalaman matanya. “Sebuah keyakinan akan kemenangan telah menggerakkan kita untuk berpeluh-peluh, bersicepat, dan mengikis harta, raga, serta jiwa. Lalu hasilnya membuat kita jerih, perih. Zhahirnya adalah kerugian, bukan?”
Tetapi tahukah engkau kawan, apa makna kerugian?
Saya cobakan senyum tercantik saya untuknya. Lalu kalimat berikut ini berhembus mesra di antara kami. “Kerugian tak jadi soal, jika ianya menumbuhkan segolongan yang terlatih, kelompok yang menyadari dan menghargai tanggung jawab. Tiadanya kesalahan, ketergelinciran, dan kerugian dalam kehidupan ini tidaklah bermakna keuntungan, jika hasilnya adalah jama’ah yang tetap kerdil, bagai bayi yang tak bertumbuh, tak berkembang, dan selalu menghajatkan penjagaan.”
Apakah saya sedang menghibur diri dengan mendusta jiwa? Semoga tidak. Kata-kata Sayyid Quthb yang saya kutip sebagai awalan adalah kerangka untuk memaknai kekalahan perang sebagai kemenangan jiwa. Sayyid menyebut tiga medan; pertempuran rasa, pertarungan akhlak, dan pergulatan manhaj. Izinkan saya hanya bicara tentang yang ketiga, pergulatan manhaj. Dan kita ambil syuraa sebagai contoh tentang manhaj yang bergulat itu.
Kapankah syuraa –musyawarah– difirmankan dengan kalimat perintah oleh Allah, ‘Azza wa Jalla? Takjub saya di saat mendapatkan jawabnya. Tapi sebelum berbagi jawab ini, mari kita ingat lagi secercah kisah tentang Perang Uhud.
Dalam sidang menjelang perang, para sahabat bersikukuh untuk keluar menyambut musuh. Tapi Sang Nabi bermimpi ada lembu disembelih, mata pedang beliau tergigir, dan beliau memasukkan tangannya ke dalam baju besi kokoh. Beberapa ekor lembu yang dikayau itu beliau artikan akan ada sahabat-sahabat beliau yang terbunuh. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapatkan musibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.
Kita sudah tahu kelanjutan kisah. Atas pendapat sahabat-sahabatnya, Sang Nabi mengalah. Mereka berangkat menghadang musuh di Uhud. ‘Abdullah ibn Ubay, si munafik, yang dalam musyawarah habis-habisan mendukung mimpi Sang Nabi berkata, “Sungguh celaka kalian yang menentang Rasulullah!” Lalu bersama sepertiga pasukan ia menyempal pergi, meninggalkan Sang Nabi luka-luka, bahkan dikabarkan hilang nyawa.
Mari kita simak keguncangan perasaan dan akhlak dalam kekalahan ini. Kali ini, kita hanya akan bicara tentang pergulatan manhaj. Dan manhaj yang paling terguncang oleh kekalahan ini adalah prinsip syuraa.
Dulu, di surat Asy-Syuraa ayat ketigapuluh delapan, Allah memuji syuraa sebagai bagian dari utusan orang-orang yang mematuhi seruan Rabbnya, yang mendirikan sholat dan menafkahkan rizqi di jalanNya. Kini, bagaimana nasib syuraa setelah kekalahan Uhud? Bukankah dalam syuraa menjelang perang, mereka telah memenangkan pendapat mayoritas atas mimpi meyakinkan Sang Nabi? Lalu mereka kalah. Syubhat-syubhat berkerumuk. Syuraa-kah penyebab kekalahan itu? Bukankah ada serpih kebenaran dalam ocehan panas Abdullah ibn Ubay? Katanya, “Aah…sudah kukatakan pada kalian jangan menentang mimpi Sang Nabi, jangan keluar dari Madinah, dan jangan mengikutinya menyongsong musuh!”
Syuraa. Masihkah ia akan dilakukan jika hasilnya sebagaimana mereka rasakan; kekalahan yang memedihkan? Atau biarkanlah Sang Nabi yang kata-katanya suci mengatur segalanya dan mereka siap sedia bekerja tanpa kata? Subhanallah, inilah kalimat yang difirmankan oleh Allah SWT kepada RasulNya:
“…Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan tetap bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Q.S. Ali Imran: 159)
Ternyata di saat syuraa diragukan dan dipertanyakan, justru Allah menjadikannya perintah. Di saat syuraa mereka maknai sebagai sebab kekalahan, Allah mengatakan, “Bukan! Dan tetaplah bermusyawarah!” sebuah manhaj dalam agama ini telah Allah tegakkan dengan ayat ini. Bahwa Sang Nabi pendapatnya benar, tetapi syuraa adalah jalan yang lebih dekat pada ridhaNya. Bahwa memang ada kekalahan, tetapi pergulatan manhaj harus dimenangkan; syuraa! Dan bukanlah kekalahan datang justru dari ketidaktaatan para pemanah di atas bukit atas hasil syuraa?
Tegasnya, syuraa tak bersalah. Dia harus dimenangkan dalam pergulatan manhaj. Dan dilanjutkan.
Akhirnya, ada seorang lelaki Quraisy menyimpulkan tafsir ayat ini. “Keputusan yang salah dari sebuah musyawarah.” Tulisnya, “Jauh lebih baik daripada pendapat pribadi, betapapun benarnya” wah, sejauh itukah? Ya, lelaki ini sedang memberi kita sebuah kaidah tentang syuraa; manhaj agama Sang Nabi yang harus kita menangkan dalam pergulatan melawan syubhat dalam jiwa dan hati. Saya pikir dia tak asal berfatwa. Sebab dialah sang alim, Imam Asy-Syafi’i.
Dalam dekapan ukhuwah, syuraa adalah muara penyelesaian segala silang sengkarut perbedaan, sebab kita hendak hidup dalam kejama’ahan yang sekokoh janji pada Ilahi…
Agaknya, kawan yang paling harus akrab dengan musyawarah adalah kesabaran. Sebabnya? “Perjalanan bersama orang lain,” demikian John C. Maxwell mencatat dalam Winning with People, “Pasti lebih lambat daripada perjalanan sendirian.”
Ya, hidup berjama’ah membuka kepada kita banyak hakikat tentang masing-masing kepribadian. Sesuatu hal pada orang lain yang ‘berbeda’ dengan apa yang kita rasa seringkali membuat kita tak nyaman dan kurang bersetuju. Bagi mereka yang bersicepat dan mengutamakan kesegeraan, kawan-kawan yang tak gesit terasa menyebalkan. Demikian pula bagi mereka yang berhati-hati, waspada, dan tak ingin gegabah, orang-orang yang bagi mereka tampak terburu-buru pastilah menjengkelkan.
“Kunci segala sesuatu adalah kesabaran,” ujar Arnold H. Glasgow suatu kali. “Perhatikanlah bahwa kita mendapatkan anak ayam dengan mengeramkan telur, bukan memecahkannya.”
Dalam dekapan ukhuwah, kita menginsyafi bahwa selalu diperlukan sejumlah waktu untuk membangun suatu hubungan. Seperti para petani yang menanti saat panen tiba, jika berpikir pendek mereka pasti merasa bahwa hanya kerugian yang ada. Sebab, tiap hari mereka harus merawat, memupuk, dan menyiangi, namun sang buah belum menampakkan diri.
Bersabarlah, dalam syuraa, juga dalam dekapan ukhuwah…
Diantaranya untuk memahami bahwa tiap orang memiliki satu anggapan yang agak unik tentang beberapa hal. Umumnya mereka merasa bahwa masalahnya sendirilah yang terbesar, lawakannyalah yang paling lucu, harapannyalah yang paling layak dikabulkan, kemenangannyalah yang paling mengesankan, kesalahan-kesalahannya seharusnya dimaafkan, dan bahwa situasinya berbeda dengan apa yang dikemukakan orang lain.
Bersabarlah, dalam syuraa, juga dalam dekapan ukhuwah. Kita harus menerima bahwa semua hubungan memiliki hal-hal yang harus kita lepaskan. Insyafi juga bahwa kadang kita harus mengalah, atau secara timbal balik memberi dan menerima. Mungkin juga kita harus mengenali wilayah-wilayah di mana orang memerlukan kesbaran kita. Dengan begitu jama’ah kita akan menjadi barisan rapi bagai bangunan kokoh, yang dicintai Allah.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh..” (Q.S Ash-Shaff : 4).
“Maka bersabarlah,” tulis Ust. Anis Matta dalam Menikmati Demokrasi, “Sebab dakwah seperti lari marathon. Nafas panjang selalu diperlukan. Dan jangan sampai kehabisan nafas di tengah jalan.
Jalan dakwah ini seperti tetesan air. Dia akan menembus dan membelah batu, tapi butuh waktu yang tidak sebentar. Jika tetes-tetes ini digabung menjadi satu, dia akan menjadi arus. Dan itulah yang diperlukan oleh dakwah. Begitu dia menjadi arus, dia akan menghanyutkan. Begitulah amal ukhuwah. Seperti menggabungkan huruf yang terpisah-pisah agar menjadi satu dan bisa terbaca. Dalam dekapan ukhuwah…
Sumber: Buku ‘Dalam Dekapan Ukhuwah’, Oleh Salim A. Fillah