MAKKAH SEDALAM CINTA

Jika kau merindu Makkah, sesekali abaikanlah bayangan tentang gedung-gedung yang menjulang gagah, juga jam raksasa yang berdetak mengabarkan kian dekatnya sa’ah.

Tapi biarkan khayal itu menyusuri bukit-bukit yang kini bebatuannya pecah-pecah, yang di tengahnya dulu terjepit sebuah lembah. Di situlah semua bermula, dalam doa di dekat bangunan tua yang tetap terjaga bersahaja.

“Ya Rabb kami, sungguh telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah tak bertanaman di dekat rumahMu yang dihormati. Ya Rabb kami, agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia merundukkan cinta pada mereka,dan karuniakan pada mereka rizki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
[QS. Ibrahim [14]: 37]

Mereka yang menyejarah, memulai semuanya dengan keyakinan pada Penggenggam Alam Semesta, bahwa hidup prihatinnya adalah agar sandaran jiwa raganya hanya kepada Allah.

Kadang ia memang duka, tapi sedalam cinta.

Bayangkanlah kecamuk perasaan seorang istri yang ditinggalkan beserta bayi merah oleh sang suami, di tempat yang harapan hidup dalam nalar manusia sungguh nihil kiranya. Tiga kali dia mengejar lelaki yang tak sanggup berkata-kata itu dengan tanya, “Mengapa kautinggalkan kami?” Dan semua baru jelas ketika dia mengganti soalan menjadi, “Apakah ini perintah Allah?”

Ya.

“Jika ini perintah Allah”, begitu dia tegaskan dengan menguatkan hati, “Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami.”

Perasaan imani wanita ini, yang diperjuangkan mengatasi emosi-emosi; kecewa, takut, galau, sedih, dan cemburu menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban hanifiyyah. Tanpa ucapan Hajar ini, kita tahu; lembah Bakkah tetap akan sunyi, tak ada lari bolak-balik tujuh kali dalam pendingin udara yang sejuk sekali, meski kita sedang mengenang pembuktian iman di tengah terik mentari yang memanggang pasir dan batu menyengat kaki, dengan sisa tenaga seorang wanita yang air susunya kering dan bayinya menangis kelaparan.

Duka Ibrahim yang berulang, ketika buah hati sibiran tulang yang dinanti hingga menua harus ditunggalkan, lalu ketika dia tumbuh gagah membanggakan lalu harus disembelih, adalah duka sedalam cinta.

Cinta pada Allah di atas segalanya.

Jika nanti kau mengunjungi Makkah, sesekali palingkanlah wajah dari toko-toko yang megah dan barangan yang mewah, dan beralihlah menatap pasir-pasir dan debunya yang kini lebih kerana pembangunan di mana-mana.

Sebab dalam suasana itu, Sumayyah menemui syahadah, Yasir disalib, Bilal diseret ke tengah gurun, ditindih batu di atas pasir membara, dan dicambuk hingga pemecutnya kelelahan. Sebab dalam sesak itu, Khabbab pernah diselongsong di atas api pembakar besi, hingga cairan yang menetes dari lepuhan punggunglah yang memadamkan nyalanya.

Dalam gerah ini pula, Sang Nabi ﷺ menangis dan berkata, “Duhai Makkah, sungguh engkau adalah bagian bumi yang paling dicintai Allah, maka kamipun sangat mencintaimu.. Seandainya bukan karena kaumku mengusirku darimu, aku takkan pernah meninggalkanmu..”

Jika kau nanti menjadi tamu Allah, sesekali pejamkan matamu dari kilau gemerlap lampu-lampunya, kecerlangan marmer dan granit berukir-ukir. Lalu bacalah talbiyah dengan penghayatan orang-orang yang dipanggil Ibrahim lalu datang berjalan kaki atau menaiki unta-unta kurus dalam perjalanan berbulan-bulan dari lembah-lembah yang dalam.

Lalu mari mengenang dua uswah hasanah itu dalam doa rindu, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim.”

Mereka yang menyejarah, selalu rindu kepada Makkah, menghayati duka sedalam cinta..


by