Untuk kesekian kalinya berbincang dengan Kangmas Roni Sodewo, dan waktu serasa dilipat.
Bayangkan keturunan ke-7 dari moyangnya yang 8 tahun ini bertungkuslumus menghabiskan tenaga, waktu, dan dana mencari saudara-saudaranya. Bukan pekerjaan mudah, terlebih karena hampir 1,5 abad jalur keturunan ini dicap sebagai pemberontak, diburu, diasingkan, dan demi keselamatan dan ketenteraman memilih menutup rapat silsilahnya.
Trah, dari kata ‘tumuruning rah’, bagi orang Jawa percabangannya berlipat 2 pangkat n dibanding nasab suku-suku bermarga. Karena tak seperti orang Batak yang patrilineal dan sebagian Minang yang matrilineal, trah itu bilineal. Ia mengakui nasab ayah sekaligus nasab ibu.
Dengan beberapa istri dan puluhan putra, lelaki hebat yang mengobarkan Perang Jawa 1825-1830 itu telah menebar keturunannya ke Yogyakarta, Ambon, Makassar, Madiun, Bogor, Jakarta, bahkan memencar ke mancanegara hingga pedalaman Eropa. Beraneka wangsa merasuk di sana, dari yang Nusantara, Barat, hingga marga-marga Hadharim.
Kangmas Roni Sodewo berusaha merajut semua, yang kadang secara politik, ekonomi, dan kepentingan ada yang berhadapan. Mempertaruhkan karier mapan, dari sudut Kulon Progo yang bersahaja, PATRA PADI (Paguyuban Trah Pangeran Dipanegara) yang digawanginya tak henti berkegiatan.
Untuk apa?
“Bukan hanya Dipanegara”, ujarnya. “Seandainya semua keturunan pahlawan kita menjaga nyala api nenek moyangnya, saya yakin Indonesia ini akan menjadi negara hebat.”
Selembar batik tulis Kawung Gurdha gagrak Yogya jadi saksi silatil arham kami. Motif kawung yang konon diyasa oleh Sultan Agung, mungkin berasal dari kwangwung, serangga yang berwarna coklat mengkilap dan indah. Bisa jadi ia juga buah dari pohon aren. Bentuknya merupakan penampang lintang buah kolang-kaling tersebut. Beberapa berpendapat ia adalah 4 kelopak teratai yang mekar. Semoga kawung menjadi penanda indah dan lestarinya karya Patra Padi, yang dilengkapi sayap Garuda, siap mengepak di langit Indonesia.
________
Di belakang kami terpampang repro peta Jawa buatan 1812, masa Sir Thomas Stamford Raffles, padanya ada corat-coret tulisan Arab; sebab inilah peta yang memandu perang bagi para pejuang Dipanegara.