Selain tugas terberat seorang suami dan ayah untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka, tirakat dan berprihatin dalam ketaatan juga diperlukan seorang hamba demi kebaikan bagi keturunannya. Dalam falsafah Jawa dikenal ungkapan, “Bapa tapa, anak nampa, putu melu, buyut katut, canggah munggah.”
Artinya kurang lebih, “Ayah berprihatin dalam ibadah, anak menerima hasilnya, cucu turut menikmati, buyut terikut mendapati, canggah harus meningkatkan lagi.”
Maka menjadi orangtua memang tugas berat, yang ‘amal ibadah kita diharapkan mampu jadi gandhulannya anak cucu, agar kelak kita berhimpun di dalam surga.
‘Amal-‘amal shalih menghantarkan doa-doa kebaikan dari para orangtua kepada anak-anak mereka, ke sisi Allah. Waktu dan tempat di mana keberkahan akan diturunkan sebagai jawaban ‘amal dan doa itu ada dalam wewenang Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Namun sungguh, hamba yang telah berdoa dan bekerja takkan pernah rugi meski harapan-harapan mereka ‘ditunda’ mewujudnya.
Boleh jadi ada orangtua yang tak henti mendoakan putranya menjadi anak yang shalih, namun ianya terijabah baru pada keturunannya kesekian yang tak dilihatnya di dunia. Ia tetap menjadi cinta dari kejauhan. Tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita, Allah tetap akan menghimpun mereka di dalam surga dan keridhaanNya.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikitpun dari pahala ‘amal mereka. Tiap-tiap pribadi terikat dengan apa yang diperbuatnya.” (QS Ath Thuur: 21)
Dalam perjalanannya bersama Nabi Musa ‘Alaihissalaam, diceritakan bahwa Khidhir menegakkan sebuah tembok bangunan yang nyaris rubuh. Beliau melakukannya agar dapat menjaga harta warisan yang dimiliki oleh dua orang anak kecil dan terpendam di bawahnya, sehingga tidak tampak dan diambil oleh orang lain.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحاً فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْراً
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (QS Al Kahfi: 82)
“Di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan”, demikian dikatakan Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Bahwa keturunan orang yang shalih akan senantiasa dipelihara. Ia mencakup keberkahan yang meliputi kecukupan di dunia dan syafa’at di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran mapun Sunah.”
“Allah menyebutkan bahwa kedua anak tersebut dijaga dan dicukupi bersebab keshalihan orangtua mereka”, ujar Ibn ‘Abbas. “Di ayat ini tidak disebutkan bahwa mereka adalah anak yang shalih. Keshalihan tersebut ada pada bapak mereka. Adapun yang dimaksud Bapak dalam ayat ini adalah kakek mereka yang ketujuh, yang mata pencahariannya sebagai seorang tukang tenun.”
Masyaallah. Mbak Hilma, Mas Nawwaf, Mas Jaisyan, dan insyaallah Dik Labib; maafkan kalau Abah dan Ummi kurang tirakatnya untuk kalian ya; semoga kalianlah kelak sebagai anak-anak shalih yang menambal rombeng ketaatan kami, dan kelak menjadi orangtua yang terbaik bagi anak cucu kalian, hingga kita semua berhimpun di surga. Aamiin.?