SURAKARTA

Sebagai anak Yogya, para sepuh kami entah sengaja atau tidak rupanya selalu menanamkan bahwa segala yang berbau Solo itu kurang baik dan tak menarik. Perbedaan yang menajam sejak Perjanjian Giyanti 1755 itu terwariskan setidaknya di alam bawah sadar.

Konon karena Susuhunan PB II di Surakarta memilih memperwalikan kerajaan dan pewarisnya pada VOC sementara adiknya, Sultan HB I mendirikan Yogyakarta dengan perlawanan berdarah 9 tahun lamanya pada kongsi dagang Belanda itu, maka Solo itu tumungkul dan Yogya itu menantang. Solo itu yasa enggal (inovasi), Yogya itu pewaris sah tradisi Mataraman. Solo itu gebyar dan glamor, Yogya itu prasaja dan elegan. Kuliner Solo itu keplek ilat (memanjakan lidah), makanan Yogya itu pawon anget (dapur yang selalu hangat). Tari Solo itu gemulai, tari Yogya lebih gagah. Pagar ayu untuk pengantin Solo isinya para remaja jelita, di Yogya malah para ibu yang sudah sepuh karena persepsinya kecantikan sejati itu muncul dari kebijaksanaan dan pengalaman hidup. Gaya komunikasi orang Solo itu umuk, priyayi Yogya justru glembuk. Wayang gagrak Solo aras termulianya bermahkota, adapun madzhab Yogya pakainya sorban. Konsep seni Solo itu ndudut ati (menghunus hati), di Yogya namanya ngayang batin (melambungkan batin). Warna khas kota Solo itu bangun-tulak (putih dan biru), sementara Yogya itu gadhung-mlati (hijau-kuning).

Pokoknya semua harus berbeda.

Segala sesuatu yang semula wajar, kalau dilebihkan tentu tak lagi benar. Selalu ada pengecualian, dan manusia yang dinamis memberi warna yang bisa jadi berkebalikan dalam hal-hal tertentu. Maka melanjutkan ‘ashabiyah Yogya-Solo secara mutlak tentu keliru.

“Wahai manusia”, ujar Nabi ﷺ membuka khuthbahnya pada suatu kali, “Rabb kalian satu dan bapak kalian juga satu. Semua kalian berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada kemuliaan yang lebih pada orang Arab atas orang ‘Ajam kecuali dengan taqwanya.”

Soal kepahlawanan misalnya; kita harus mengenang sosok kurus namun berwibawa dari Surakarta itu, yang mengarungi perjalanan pelik ke Ambon untuk dibuang karena hatinya yang berjuang. Dia, Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Pakubuwana VI.

Ketika pecah Perang Jawa, Pakubuwana VI sudah bersiap-siap menggabungkan diri dengan kerabat jauh yang disayanginya, Pangeran Dipanegara dari Yogyakarta. Niat itu gagal karena Jenderal Hendrik Merkus de Kock buru-buru datang dan menekannya. Dipaksa untuk membantu Belanda menundukkan Sang Pangeran, Sunan Pakubuwana VI berpesan rahasia agar pasukannya tak sungguh-sungguh dalam memerangi bangsanya.

Setelah Perang Dipanegara berakhir, Belanda memaksa Sunan menandatangani perjanjian yang berisi penyerahan beberapa daerah kepada Belanda. Dia menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut dan membuat jengkel Belanda.

Karena tekanan makin berat, pada tanggal 6 Juni 1830 Pakubuwono VI meninggalkan istana dan pergi ke Imogiri berziarah ke makam nenek moyangnya. Mengetahui hal ini, pemerintah Belanda justru menuduhnya sedang menyiapkan pemberontakan.

Di dekat Parangtritis, Sunan ditangkap dan dibuang ke Ambon. Beliau meninggal dunia dalam pembuangan Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, dia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

Pada tahun 1957, jasad Sri Susuhunan Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, Yogyakarta, kompleks pemakaman keluarga Wangsa Mataram sejak Sultan Agung.

Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Gusti Bendara Pangeran Harya Jatikusumo (putra PB X, berarti buyut Almarhum), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.

Semoga Allah merahmatinya, Sinuhun Banguntapa.
____________
Memiliki dua warangka gaya Surakarta; Ladrang kayu Trembalo iras dan Gayaman kayu Cendana Wangi hasil randhan dari bilah yang sudah pindah ke warangka gaya Yogyakarta (jiaannn, tetap semi fanatis ?); insyaallah semoga ketemu jodoh wilah-wilah level KK Pakubuwanan dan menjadikan saya semakin bisa menerima konsep estetika Solo.? #keris #tosanaji


Posted

in

,

by