RADEN SUKRA

Di dunia yang merimba, kisah seorang lelaki rupawan berakhir mengerikan. Ini kisah Raden Sukra, putra Patih Sindureja di masa Amangkurat II (1677-1703).

Zaman memang meleset baginya, ketika putra mahkota, Raden Mas Sutikna yang cacat tumit dan jalannya kencet menganggapnya pesaing pesona. Kabut gelap membayangi Kartasura, ibukota keempat Kerajaan Mataram Islam.

Kisah Raden Sukra ditulis dengan sendu di dalam Babad. Tapi izinkan saya mengutip versi puisi karya Goenawan Mohamad agar kita bisa menghayati apa yang dialami Sukra.

“Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.

Debu kembali ke tanah
Jejak sembunyi ke tanah
Sukra diseret ke sana
Seluruh Kartasura tak bersuara
Sang bapak menangis kepada angin
Perempuan kepada cermin
“Raden, raden yang bagus,
pelupukku akan hangus!”

Apa soalnya? Kenapa aku, mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.

Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.

“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”

Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.

Kemudian mataku mereka buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.

Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam itu Pangeran, Putera Mahkota
telah menghunus kehendaknya.

Siapakah yang berkhianat
Kelam atau kesumat?
Kenapa nasib tujuh sembilu
Menghadang anak itu

“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)

“Tidak, Gusti.”

“Kausangka kau pemberani?”

Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,
tapi dari pipinya yang tembam kurasakan geram saling mengetam,
mengirim getarnya lewat bayang-bayang.

Suara itu juga seperti melayang-layang.

“Kau menantangku.”

Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.

“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan
aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan kerajaanku. Jawablah, Sukra!”

Malam hanya dinding
Berbayang-bayang lembing.
“Hamba tidak tahu, Gusti.”

Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi.
“Pukuli dia, di sini!”

Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin darah
“Masukkan semut ke dalam matanya!”

Seluruh Kartasura tak bersuara.”
___________
Sebuah warangka sunggingan alas-alasan (rimba-hutan) di atas warangka ladrang yang birawa. Bersyukur mendapati karya Pak Laskam bertahun-tahun lalu yang masih terawat baik. Barangkali sejalan dengan waktu, karya beliau kini semakin menyempurna. Tapi proses, selalu layak mendapat apresiasi.

Sunggingan alas-alasan mengingatkan kita bahwa apabila manusia hidup tanpa hidayah petunjuk Gusti Allah pasti akan menjadi homo-homini-lupus seperti kisah Sukra. Manusia yang dicipta dalam seindah-indah bentuk bisa menghuni dasar kehinaan, kecuali dia beriman dan beramal shalih, begitu pesan Surat At Tiin.

Sunggingan alas-alasan juga mengajarkan kita untuk hidup dalam keselarasan seperti para binatang di hutan; betapapun mereka adalah makhluq yang dikaruniai rahmat Allah hingga selapar-laparnya singa tak memangsa kawannya, segirang-girangnya kuda tak menginjak anaknya. Satu hakikat yang kadang terlalaikan di alam manusia, ketika hawa nafsu meraja.