Konon, yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.
Dulu, kios harus rapi, tempatnya luas serta nyaman, pegawainya cantik berseri jika hendak menarik pembeli. Kini, meski yang tua tergeragap-geragap mengikuti para ‘pribumi digital’ yang begitu lahir kenal gawai, belanja daring telah kian meraja. Ini zamannya jangan beli sesuatu sebelum melihat reviewnya di Youtube, belilah dengan membandingkan harga hingga layanan dari seluruh lapak, dan tulislah komplain di blog hingga status media sosial kalau tak puas. Penjual-penjual besar tak lagi menyewa lahan dan bangunan, kecuali sekedar display yang bisa difoto dengan cantik dan diunggah ke laman internetnya.
Perusahaan taksi terbesar di dunia tak punya satu mobilpun, jejaring hotel terluas tak berinvestasi di satu kamarpun, penjual buku terakbar tak punya rak dan toko. Kini, jejaring toko buku konvensional di negeri kitapun kian merasakan bangunan megah dan pegawai ramah mereka jadi beban. Sebagai aset properti mungkin toko dan lahan strategisnya masih berharga, tapi sebagai tempat berjualan tidak lagi.
Ketika memulai @proumedia sekira 2003 lalu, kami sudah dalam kesadaran bahwa dunia kepenulisan juga akan berubah. Kini orang berburu buku bukan karena memerlukan ilmu. Kalau ingin tahu sesuatu, googling saja. Habis perkara. Bahkan sebelum mempertimbangkan soal buku elektronik, buku di masa kini adalah “cinderamata” dari tokoh yang dirasa ada keterpautan hati.
Ya. Ada sedihnya. Ada jerihnya. Tapi ini sunyata yang kian terasa.
Maka tokoh utama sebuah buku bukan lagi tema dan isinya yang dicari “nilai guna”-nya. Tokoh utama sebuah buku adalah penulis yang menempati satu ceruk di hati pembacanya. Pertimbangan membeli buku sungguh sangat emosional sekali. Buku bagaikan benda penanda cinta antara pembaca pada penulisnya. Ya, ada manfaat yang dipetik. Tapi itu hanya isi piringnya. Yang terpenting saling suap-suapannya.
Dunia hari ini memang bukan tentang fungsi, bukan tenrang nilai guna lagi. Siapakah kini yang meminum kopi untuk menjaga mata? Apakah Yogyakarta kota yang ngantukan sehingga ribuan kedai kopinya laris? Bukan. Orang minum kopi agar, di antaranya, laptop yang dipakainya lembur bisa difoto bersama sajian cantik dengan latar artistik untuk diunggah ke instagram.
Tantangan yang menarik bagi penerbit seperti @proumedia, untuk sejak awal mendukung semua penulisnya menjadi brand yang mencuri hati ummat. Maka mereka harus didukung agar terjaga imannya, ilmunya, ibadahnya, mu’amalah, dan terlebih akhlaqnya. Itu juga berarti mereka harus disupport untuk mempertanggungjawabkan tulisannya dengan bicara di depan publik, bersosial media, wajah manisnya tampil di youtube, tuturnya asyik dan menyentuh, dengan keramahan yang memikat hati, dan isi omongan yang berisi dari pembelajaran tak henti-henti.
Inilah zaman #mncrgknskl yang akan dihadapi para penulis dan insan perbukuan. Maka saya dan @zaky_zr menulis buku #mncrgknskl yang diterbitkan @proumedia dan dikulik cinderahatinya di @mncrgkn.skl. Dan kamipun membiasakan diri berada di tengah lingkungan dan orang-orang yang #mncrgknskl di air terjun Srambang ini.
Ketika jurnalisme media massa arus utama menjadi pemroduksi dusta dan justa untuk kepentingan para kuasa-kaya, namun teknologi mendukung setiap warganet untuk membuat sendiri beritanya; betapa menjadi penulis kian perlu banyak renungan.
Ah penulis, salah satu makhluq paling #mncrgknskl di zaman ini.