Lelaki itu memang berpembawaan pemalu dan canggung. Tapi hari ini dia menabahkan diri berada dalam antrian yang tak lazim baginya. Perawakannya tinggi dengan kulit tak terlalu putih. Wajahnya tampan, dengan beberapa titik bekas cacar yang menghiasi.
“Hai ‘Utsman”, tegur seseorang dengan berbinar, “Kau ini juga termasuk yang terkaya di antara penduduk Madinah. Buat apa kau di sini, ikut-ikutan menanti pembagian harta ‘Abdurrahman ibn ‘Auf?”
Dia tersenyum. “Harta ‘Abdurrahman ibn ‘Auf adalah harta yang berkah”, jawab Sang Dzun Nurain wal Hijratain. “Rasulullah ﷺ juga mendoakannya. Maka mana boleh aku ketinggalan mereguk bagian dari berkah itu?”
Masyaallah. Tabaarakallaah.
Lebih dari satu setengah abad setelah kejadian itu, seorang tamu mengunjungi sebuah rumah sederhana di antara kemegahan Baghdad. Kita duga, perjalanan jauh dan kehati-hatian untuk tak sembarang mengudap telah membuatnya cukup lapar.
Maka anak-anak Imam Ahmad ibn Hanbal melihat betapa setelah mereka usai makan bersama, si tamu ini menghimpun semua makanan yang tersisa dari tiap wadah ke dalam piringnya dan menghabiskan semuanya. Semuanya.
Ada beberapa keanehan lagi yang akan dipertunjukkan oleh tamu yang satu ini. Tapi kita akan kisahkan mungkin di kali lain dengan lebih rinci. Kali ini kita loncati, pada apa jawab sang tamu tentang kelahapannya yang teramat sangat?
“Karena aku yakin bahwa rizqi di rumah keluarga ini adalah salah satu yang tersuci di muka bumi”, ujarnya dengan bibir menyunggingkan senyum yang amat serasi dengan jenggotnya yang tak melebihi genggaman tangan. “Maka takkan kusia-siakan keberkahan dari makanan yang disajikan darinya. Jadi kuhabiskan semua.”
Tamu ini, Muhammad ibn Idris Asy Syafi’i. Orang yang kelak hingga empatpuluh tahun lamanya namanya tersebut dalam doa sang tuan rumah, hingga putri kecilnya bertanya, “Siapakah dia hingga Ayah terus memintakan untuknya apapun yang Ayah minta pada Allah untuk diri sendiri?”
Dan apa jawab Imam Ahmad?
“Asy Syafi’i adalah mentari bagi siangnya hari dan obat penyembuh bagi sakitnya tubuh. Maka siapa yang tak memerlukan keduanya?”
Para salafush shalih, radhiyallaahu ‘anhum ajmaa’in.