“Keberjodohan memang tak selalu sama rumusnya. Ada dua sungai besar bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan. Ada panas dan dingin berpadu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan. Ada hujan lebat bersua tanah subur lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan. Ada angin ribut berjumpa lautan yang tenang hingga terjadilah badai bergejolak; itu keniscayaan. Tapi satu hal tetap sama. Para jodoh sejati menjadi cocok karena bersama bertasbih memuji Allah seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya.”
Karena sangat terkesan oleh falsafah ‘Baita Tinitihan Janma’, atau bagaimana manusia mengarungi lautan kehidupannya dengan perahu yang indah seperti tergambar dalam sarung keris berbentuk Branggah Yogyakarta atau Ladrang Surakarta, maka warangka berbentuk gayaman seperti ini akan terlihat sederhana bagi kita.
Tapi yang sederhana, tak berarti kekurangan makna. Sebab yang bersahaja sering justru memenuhi nilai guna utamanya. Kalau Branggah dan Ladrang dikenakan di acara-acara resmi, maka warangka Gayaman amat sesuai dibawa ke medan laga. Itulah misalnya yang kita lihat terselip di pinggang Pangeran Dipanegara dalam litograf karya Hofd Baljouw Batavia, A.J. Bik yang masyhur itu.
Beberapa waktu lalu saya coba menjodohkan sebuah deder gading pada keris bertangguh Pajang dengan warangka gayaman Yogyakarta dari kayu Timaha berpelet cantik. Ternyata ketika deder gading berikutnya datang, wanda dan ukurannya lebih nyaman dipandang. Maka deder gading yang sebelumnya rupanya terjodoh kepada keris bertangguh Sultan Agungan yang berwarangka kayu gaharu wangi dengan pendhok kemalo sederhana.
Jodoh memang misteri. Tugas kita berprasangka terbaik, berdoa mohon yang terbaik, mengupayakan yang terbaik, dan mentawakkali yang terbaik.
Warangka yang depan dan belakangnya papak tanpa runcingan ini disebut gayaman mengacu pada bentuknya yang mirip buah gayam. Gayam (Inocarpus fagifer) adalah anggota suku polong-polongan (Fabaceae) yang dapat tumbuh setinggi 20 meter dengan diameter 4-6 meter. Di Bali ia dinamai ‘Gatep’, dan penutur Bahasa Inggris menyebutnya ‘Tahitian Chestnut’.
Pohon Gayam sering tumbuh berdekatan dengan kolam atau mata air sehingga diduga memiliki kemampuan menyerap air yang kuat sehingga ia dijadikan tumbuhan penghijauan. Isi bijinya biasa dimakan setelah direbus terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan racun saponin.