Saya selalu ingat adegan dalam serial lawas itu.
Imam Daril Hijrah yang agung, Malik ibn Anas, dengan jubah birunya yang indah dan ‘imamah putihnya yang megah duduk dalam sikap sempurna membacakan hadits-hadits Rasulillah ﷺ. Para murid duduk menunduk, mencatat dengan khidmat, dan memerinci penjelasan Sang Guru dengan cermat.
Di tengah majelis, seorang pemuda tampan bercambang tipis yang janggutnya tak melampaui genggaman tampak mencolok pesonanya. Mengenakan surban merah dan jubah senada yang bersahaja namun anggun, dia asyik memainkan telunjuk kanannya yang seakan menari di telapak tangan kiri.
Melirik sekilas, Imam Malik agaknya terganggu dengan gerak-gerik itu.
Ketika majelis bubar, beliau memanggil sang pelajar. “Maju ke sini hai Anak Muda!”
Terkejut, pemuda itu menengok ke kanan dan kiri memastikan bahwa dirinyalah yang dimaksud. “Sayakah ya Imam?”
“Na’am, Ant..”
Bertanyalah Sang Imam akan jatidiri pemuda itu. Beliau temukan betapa keluhuran nasab, kerupawanan jasad, dan kecerdasan berhimpun dalam dirinya.
“Betapa sempurna sifat-sifat pribadimu, tapi sungguh sayang buruk sekali adabmu!”
“Astaghfirullaahal ‘Azhiim. Hal manakah kiranya dari perilakuku, yang telah membuat Imam tak berkenan dan mengingkarinya?”, pucat pias wajah si pemuda.
“Betapa ketika aku sedang meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah ﷺ yang mulia, bukannya menyimak dengan hormat, engkau malah bermain-main dengan jemari dan telapak tanganmu!”
“Jika itu maksud Imam, masyaallah, sesungguhnya aku maksudkan itu untuk menulis hadits yang kauriwayatkan..”
“Coba perlihatkan tanganmu!”
Pemuda itu mengulurkan telapaknya dengan ragu sementara Sang Imam menyahutnya dengan cepat.
“Aku tak melihat tulisan apapun!”
“Yang kumaksud wahai Imam”, ujar pemuda itu terbata dan dengan mata yang mulai berkaca-kaca, “Ini adalah caraku agar dapat lebih mudah menghafalnya ke dalam benakku.”
“Sungguh aku belum pernah mendapati seorang Ahli ‘Ilmu pun yang berlaku seperti itu!”
“Na’am ya Imam.. Tapi sejak kecil aku hidup dalam kemiskinan hingga tak mampu membeli kertas dan pena, lalu cara inilah yang membantuku mengingat pelajaran.”
“Baik, coba perlihatkan padaku hafalanmu itu!”
“Na’am ya Imam.. Kumohon pada Allah pertolongan agar benar dalam menyampaikan.. Yang pertama dari keseluruhan hadits Rasulullah ﷺ yang telah kausampaikan, engkau berkata, “Balaghanii ‘an Nafi’.. ‘An Ibni ‘Umar.. ‘An Shahibi Hadzal Qabri ﷺ…” Demikianlah sang pemuda menguntai satu demi satu berpuluh-puluh hadits yang dihafalnya dalam majelis itu dengan hafalan tanpa cacat, kefasihan tata bahasa yang sempurna, dan suara yang merdu bagi pendengarnya.
“Engkau bahkan tak keliru dalam satu hurufpun!” Kini Sang Imam yang berkaca-kaca. “Kamu katakan tadi namamu Muhammad ibn Idris Asy Syafi’i?”
“Na’am ya Imam..”
“Jadi apa tujuanmu meninggalkan Makkah dan datang ke mari?”
“Mengunjungi kekasih kita Rasulullah ﷺ…”, sebutir airmata menetes di pipi pemuda itu ketika dia menengok ke seberang Raudhah Asy Syarifah tempat Sang Nabi ﷺ berbaring. “Dan duduk di hadapanmu untuk menadah ilmu”, lanjutnya sambil menghadapkan wajah pada Imam Malik dengan senyum ta’zhim.
___________
Tempo hari bersama para Mahasantri Madinah. Serasa debu usang di antara kilau permata masa depan. Baarakallaahu fiikum.
Ya Allah, tambahkan kepada kami ilmu, anugerahkan pada kami pemahaman, dan tuntunlah kami untuk menjaga adab karenaMu di segala keadaan.