Mon (紋) atau monshō (紋章), atau mondokoro (紋所), dan kamon (家紋) adalah simbol heraldik Jepang. Mon dapat merujuk pada setiap simbol, sementara kamon dan mondokoro merujuk pada simbol keluarga.
Di kota Himeji yang cantik, kita akan menemukan 2 lambang dominan; sekuntum bunga paulownia (go-shichi-no-kiri) yang dulu dipakai Toyotomi Hideyoshi dan kini menjadi simbol Perdana Menteri Jepang, dan seekor kupu-kupu (agehanochō) yang merupakan kamon bagi Ikeda Terumasa, pembangun Puri Himeji yang sisa kemegahan aslinya masih kita saksikan hingga kini.
Konsekuensi manusia sebagai makhluk sosial adalah berkomunikasi. Dan puncak komunikasi terjadi melalui pralambang, sehingga dengan peradabannya manusia menjelma menjadi Homo Symbolicum.
Seperti bangsa lain, manusia muslim Jawa juga menerjemahkan keyakinannya dalam simbol. Perhatikan misalnya kalau kita berada di Masjid-masjid kagungan dalem Kesultanan Yogyakarta. Memasuki halamannya orang akan melihat pohon Sawo (Manilkara zapota) berjajar, dimaksudkan untuk mengingatkan, “Sawo! Sawwuu shufuufakum, luruskan shaff-shaff kalian.” Pagarnya dipuncaki ukiran buah Waluh (labu kuning), untuk membawa pada tauhid, “Wallah” dan “Qul huwallaahu Ahad.”
Memasuki serambi, tempat di mana Mahkamah Syari’ah biasanya digelar tampak pintu Masjid diukiri gambar wajik. Ini untuk mengingatkan hakikat pengadilan akhirat yang lebih kuat. “Wajii-a yaumaidzin bijahannam, yaumaidzin yatadzakkarul insaanu wa anna lahudz dzikraa.. Dan pada hari itu didatangkan jahannam. Pada hari itu manusia menjadi ingatlah manusia akan segala perbuatannya, tapi apalah guna ingat di saat terlambat itu.” (QS Al Fajr: 23)
Di langit-langitnya yang indah, ukiran berbentuk buah nanas melambangkan Masjid sebagai tempat berlindung manusia dari segala was-was syaithan kepada Pencipta manusia, Penguasa manusia, dan Sesembahan manusia. Nanas menjadi penuntun membaca salah satu Surat Mu’awwidzatain, “Qul a’udzu bi Rabbinnaas, Malikinnaas, Ilahinnaas..”
Di serambi itu diukirkan sulur-sulur tetumbuhan yang disebut lung-lungan. Maknanya, bahwa segala tujuan ibadah hanyalah untuk Allah, menggapai ridhaNya, hingga lebih masyhur di langit daripada di bumi. “Akarnya kokoh menghunjam dan cecabangnya menggapai langit.” (QS Ibrahim: 24). Pula ia bermakna tulung-tulungan, “Dan saling tolong menolonglah kalian di atas kebajikan dan taqwa.” (QS Al Maidah: 2).
Di puncak Masjid, di atas atap tajuk bertumpang tiga, mustaka Masjid tak berbentuk kubah melainkan ukiran tumpuk daun Kluwih (Artocarpus camansi). Maknanya, segala kaluwihan (karunia, kebaikan, dan keutamaan) adalah milik dan dari Allah; “Qul innal fadhla biyadillah.. Katakanlah (hai Muhammad) bahwa karunia itu di tangan Allah, Dia berikan kepada siapapun yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Luas KaruniaNya lagi Maha Mengetahui.” (QS Ali ‘Imran: 73)
Itu baru sebagian kecil dari segala simbol yang bertebar di seluruh penjuru Keraton, bahkan tatakotanya. Maka sungguh @authordanbrown belum akan lengkap menganggit petualangan Robert Langdon sang Profesor Simbologi Harvard, jika belum ke Yogyakarta.?