Sukawati, 1755
Perang paling akbar yang pernah dihadapi Kongsi Dagang terbesar di dunia itu sudah berlangsung 9 tahun dan rakyat Mataram kian menderita bagai pelanduk di tengah tawuran gajah.
Enam tahun lalu, Pangeran Mangkubumi akhirnya menerima desakan berulang-ulang menantunya, Pangeran Sambernyawa, untuk mau ditahbiskan menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Ingalaga di desa Kabanaran. Sambernyawa menjadi Patihnya.
Ya. Hormat dan cinta Mangkubumi pada Kakandanya, Susuhunan Pakubuwana II tak pernah luntur. Dia tak pernah mau diangkat menjadi raja, sebelum Pakubuwana II wafat pada 1749. Raja yang memelas ini mangkat dengan memasrahkan negara Mataram pada VOC yang diwakili Baron Von Hogendorff demi diangkatnya sang putra sebagai Pakubuwana III. Hal ini menggemeretakkan geraham Mangkubumi dan mencucurkan airmatanya.
Mangkubumi terus merambah berbagai medan. Bersama istrinya yang tangguh, Niken Lara Yuwati yang kelak menjadi Ratu Ageng Tegalreja pendidik Dipanegara, dia arungi hutan-hutan pegunungan di Banyumas dan Kedu hingga tembus ke Madiun dan Kediri. Yuwati bahkan melahirkan calon Sultan Hamengkubuwana II di lereng Gunung Sindara. Rangga Prawiradinigrat, Tumenggung Sindunegara, Arumbinang, Kolopaking, dan banyak pendukung lainnya tetap setia, ketika Sambernyawa yang dibakar ambisi mudanya mulai berpisah jalan.
VOC yang mengalami begitu banyak kerugian sepanjang 1746-1755, terutama tewasnya Mayor De Clerk pada 1751 dan pengepungan Benteng Ungaran yang berujung kematian Gubernur Jenderal Van Imhoff, merasa harus mencari cara lain untuk menundukkan Mangkubumi. Terlebih, Pangeran penuh kharisma itu telah memikat banyak simpati, dari Laskar Bugis dan Daeng di Makassar, para pelarian Madura, dan prajurit-prajurit Cirebon.
Jalan bagi VOC terbuka ketika seorang Arab bernama Syarif Besar Syaikh Ibrahim mendarat di Semarang. Nicholas Hartingh, Gubernur Nord Oost Kust tahu bahwa Mangkubumi punya orientasi kuat pada Daulah ‘Utsmaniyah sebagaimana Sultan Agung Hanyakrakusuma, moyangnya. Maka Syarif Besar Syaikh Ibrahim diminta menyama-nyama sebagai utusan Sultan Turki untuk membujuk Mangkubumi menghentikan perang dengan imbalan separuh wilayah Mataram dan gelar Sultan yang resmi diakui oleh kuasa Ottoman.
Mangkubumi, dengan kecenderungan kuatnya pada legitimasi sah ‘Utsmani dan mempertimbangkan rakyat yang menderita karena perang akhirnya setuju untuk menggelar perundingan dengan VOC dan keponakannya, Pakubuwana III yang bertakhta di Surakarta. Tempatnya? Desa Giyanti. Perjanjian inilah yang nanti menjadi dasar berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
(Bersambung)
______________
Ndherek mangayubagya pengetan hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (@kratonjogja) ke-271.