“Sesungguhnya Allah Maha Indah. Dia mencintai keindahan.”
Pernah kita bahas di kesempatan lain bahwa dalam gaya komunikasi Solo punya “umuk”, Jogja punya “glembuk”, dalam kuliner ‘tiyang Sala’ itu “keplek ilat” dan ‘priyantun Ngayukja’ itu falsafahnya “pawon anget”. Nah, dalam konsep seni kedua kakak-beradik pewaris Mataram itu juga punya kekhasan.
Konsep seni Surakarta dikenal sebagai “ndudut ati”, sementara di Yogyakarta disebut “ngayang batin”.
“Ndudut”, arti harfiahnya adalah “menarik sesuatu dari dalam melalui celah sempit yang disertai sensasi akibat gesekan”. Jadi bisa dibayangkan, “ndudut ati” adalah konsep seni yang membuat para penikmatnya menahan nafas, dengan jantung serasa ditarik keluar, dan tanpa sadar menggumamkan “haaaahhh” karena ketakjuban.
Itulah “ndudut ati”, konsep seni Surakarta yang mewujud dalam glamor, gebyar, wah, dan kilau-kemilaunya tampilan.
Adapun “ngayang batin” bermakna membuat batin terlambung-lambung, melayang-layang menjelajahi alam keindahan yang tanpa batas, tapi rasa hati itu tak dilepas keluar, ditahan tetap di tempatnya sehingga rasa mattttt-nya terjaga di dalam diri. Dalam konsep ini, menikmati karya seni menjadi suatu pengalaman ruhani yang tak rela dibagi-bagi, sebab tiada kata atau bahkan eskpresi wajah maupun bahasa tubuh yang sanggup mewakili.
Itulah “ngayang batin”, konsep seni Yogyakarta yang dalam wujudnya terlihat sederhana alias prasaja, tapi gandhes, luwes, dan nresep atau merasuki hati, membuka petualangan imajinasi tak terbatas.
Keris bersama warangkanya adalah salah satu karya budaya yang bisa kita pandang mewakili kedua konsep di atas. Perhatikan keris dengan warangka ladrang maupun gayaman ala Surakarta yang megah dan mewah di gambar pertama, lanjutkan dengan versi sunggingan di gambar kedua. Ndudut ati. Geserlah lagi, dan bandingkan dengan warangka branggah dan gayaman gaya Yogyakarta di gambar ketiga. Ngayang batin.
Warisan konsep seni yang sedemikian; mari perkenalkan kepada dunia. Hadiahkan kerisnya, tebarkan lapis-lapis budayanya. Nantikan kisah selanjutnya.
(Bersambung)