Ziarah ke Tembayat pada tahun 1633 itu konon mengubah Sultan Agung. Semula dia percaya, dialah raja yang terpilih untuk menyatukan Jawa di bawah panji Mataram dan mengusir bangsa nista yang datang menghisap kekayaan Nusantara.
Maka selama 20 tahun bertakhta, politik ekspansinya membadai seluruh wilayah. Penaklukan, perang, pertempuran, pemberontakan, penghancuran, dan ujungnya penderitaan rakyat yang tercipta. Kota-kota pelabuhan mati, lahan-lahan pertanian rusak.
Maka ketika kesadaran baru itu tumbuh; seperti ‘Umar ibn Al Khaththab melarang pasukannya melampaui Sungai Indus dan Laut Mediterania, seperti ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz menghentikan pengepungan Konstantinopel dan perang Afrika; Sultan Agung mengalihkan perhatiannya pada penyejahteraan rakyat dan kebudayaan.
Untuk menyatukan pesisir dan pedalaman, kalender Saka yang berbasis matahari diubah menjadi tahun Jawa yang sesuai penanggalan hijriah, tapi dengan meneruskan angka tahunnya. Pranata-mangsa diterbitkan untuk mengatur pertanian. Tata Bahasa Jawa baru disusun yang turut memengaruhi Bahasa Sunda, Banjar, Palembang, dan Jambi. Serat Sastra Gendhing digubah. Tata kota ala Sunan Kalijaga dibakukan. Pusat ekonomi di Kotagede dipisahkan dari ibukota pemerintahan di Karta. Tata busana Mataraman menjadi trend hingga luar Jawa seperti dilaporkan duta VOC di Palembang, Jambi, Banjar, dan Lingga.
Sultan Agung juga menitahkan agar keris, tombak, dan pedang yang semula hanya boleh dimiliki para bangsawan, bisa dimiliki seluruh rakyat. Terjadilah massifikasi kebudayaan dan kesenian. Semua lapisan masyarakat berhak mempunyai rasa kepercayaan yang mantap terhadap apa yang dimiliki, dan diharapkan mempunyai rasa kepercayaan terhadap pimpinannya, bahwa Raja dan para nayakanya akan selalu melindungi semua hak milik rakyatnya. Mulai saat itu Mataram berwajah baru, rakyat secara gotong royong berbenah diri dan membangun desa-desa dan kota.
Keris juga dijadikan sebagai penanda apresiasi. Para lurah prajurit sampai prajurit biasa menerima ganjaran tombak atau keris yang diserasah emas bergambar sada sakler juga bergambar sapit landak dan trisula. Sebagai pimpinan pasukan dan wadana kliwon mendapat ganjaran pusaka yang dikinatah emas berupa lunglungan atau ron-ronan. Para perwira prajurit dan Panewu Mantri mendapat ganjaran pusaka-pusaka yang dikinatah emas bergambar gajah dan singa. Para putra kerabat atau patih dalem mendapat ganjaran pusaka yang dikinatah emas bergambar bunga anggrek.
Inilah pemuliaan kebudayaan ala Sultan Agung, suatu nilai luhur yang patut disambung. Nantikan kisah berikutnya tentang keris dan aliansi peradaban.
(Bersambung)