Surakarta, Mei 1746
Sang Pangeran menunduk dengan sesekali mengulum senyum. Para sentana dan nayaka yang dicekam prihatin tahu, senyum itu adalah perlawanan terhadap kepedihan, kepahitan, dan rasa terhina yang tak terperikan.
“Tuan Patih, apa bukan sinting dan tak tahu malu namanya, pengecut tak punya jasa tapi menuntut hadiah akan keberanian?”, aksen Belanda berbau Perancis membahana.
“Wah, mana saya tahu Tuan Gurnadur. Tapi kalau ada, ya orang seperti itu tidak layak hidup di Keraton Mataram to? Hanya jadi aib bagi orang di sekitarnya, ya to?”, logat Jawa diiringi senyum sinis itu menimpali.
Telinga manakah yang tak panas, wajah mana yang tak merah, hati mana yang tak terbakar saat mendengar sahut-menyahut kata antara Gubernur Jenderal VOC, Baron Van Imhoff dan Patih Pringgalaya yang semua berisi fitnah dan pelecehan pada adik kesayangan Sang Raja yang bernama Mangkubumi, sang pangeran santri? Terjebak di tengah umpat-umpatan vulgar Van Imhoff dan ungkap-ungkapan Pringgalaya yang halus tapi penuh tikaman keji, Susuhunan Pakubuwana II yang tak berdaya itu merasa sempoyongan, pucat, dan kelu lidahnya. Seucap pembelaan pun tak dapat keluar dari lisannya.
Padahal inilah adik yang berperan besar menuntaskan Geger Pecinan yang telah meruntuhkan istananya di Kartasura pada 1742. Inilah adik yang memboyongnya ke Tegalsari, Panaraga, melindungkannya pada para ‘ulama. Inilah adik yang merancangbangun Keraton baru untuknya di Desa Sala. Inilah adik yang meredakan pemberontakan keponakan mereka, putra Pangeran Aria Mangkunegara yang dibuang ke Sri Lanka, Mas Said sang Sambernyawa.
Pakubuwana II telah menjanjikan wilayah Sukawati nan makmur nun di timur pada Mangkubumi sebagai hadiah atas pengabdiannya. Malam ini, Van Imhoff dan Pringgalaya memaksanya membatalkan janji itu, dan raja yang lemah ini takkan kuasa mempertahankan sikapnya.
Lewat tengah malam ketika gelisah kian mencekik nafas dan memajan matanya, pintu peraduan Sang Raja diketuk pelan. “Siapa?”, tanyanya.
“Beribu ampun Ingkang Sinuhun”, ujar penjaga takut-takut. “Rayi dalem, Kangjeng Pangeran Mangkubumi mohon bertemu.”
Terloncat dari pembaringan, bergegas Pakubuwana II membuka pintu dan langsung memeluk sosok yang amat berjasa dalam hidupnya itu. Tapi Mangkubumi meluruhkan tubuh dan menghaturkan sembah ke lutut kakaknya.
“Waktu hamba tidak banyak, Ingkang Sinuhun. Hamba hanya sowan sejenak untuk memohon doa restu.”
Tercekat leher Sang Susuhunan dan tulangnya serasa dilolosi begitu menyeksamai bahwa sang adik telah mengenakan busana keprajuritan. “Hen.. hendak ke mana Adimas?”
“Bukankah tak tersisa lagi pilihan bagi saya selain melawan Sinuhun? Berkahilah perjuangan kami dengan doa Sinuhun, semoga kami berhasil menyucikan bumi Mataram dari penistaan VOC dan antek-anteknya semacam Pringgalaya yang telah pula menyandera Sinuhun.”
Ucapan tegas namun penuh getaran emosi itu membuat Pakubuwana II terpaku. “Yang Adimas maksud dengan ‘kami’, siapa saja Adimas?”
“Sekitar dua pertiga Pangeran, para Tumenggung dan Adipati berbagai tlatah sudah sepakat untuk bergabung dengan adikmu ini menyelamatkan Nagari Mataram, Sinuhun”, ujar Mangkubumi dengan beruluk sembah.
Tiba-tiba Susuhunan Pakubuwana II berbalik ke sudut kamarnya dan membuka sebuah peti kayu besar. Beberapa benda terbungkus beludru dia bawa dan serahkan pada adiknya. Pusaka-pusaka Mataram berpindah tangan diiringi airmata yang meleleh di pipi Sang Raja. Malam itu, dengan restu kakaknya yang tetap memilih di Keraton menjaga tahta, Mangkubumi mengobarkan jihad yang akan berlangsung 9 tahun lamanya, dan berujung dibelahnya Mataram serta berdirinya Kasultanan Yogyakarta.
(Bersambung)
______________
Ndherek mangayubagya pengetan hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (@kratonjogja) ke-271.