Dari jembatan kecil di seberang Oude Kerk, Delft ini, mari mengingat bahwa kita punya jembatan dahsyat yang terdendang dalam lagu Almarhum Gesang. “Jembatan Merah.” Dan sebagai salah satu landmark kota Surabaya, ia adalah saksi pertempuran paling mematikan bagi pasukan Sekutu sejak Perang Dunia II.
Dalam pertempuran ini, Brigadir Jenderal AWS Mallaby, panglima Divisi ke-49 dan Brigadir Jenderal Guy Loder-Symonds tewas. Jenderal Sir Phillip Christison murka, sebab bahkan di medan Eropa dan medan Pasifik, tidak ada cerita 2 jenderal sekutu sebegitu cepat gugur dalam pertempuran seperti di Surabaya.
Kesusahpayahan tentara sekutu diperparah oleh desersinya 3000 personel pasukan Gurkha yang selama ini jadi andalan Inggris. Salah satu komandan desersi itu, Zia Ul Haq, kelak akan menjadi presiden Republik Islam Pakistan yang amat dicintai, pendukung utama jihad Afghanistan melawan Soviet.
Mengapa Zia dan rekan-rekannya menolak bertempur? Pekik takbir. Bung Tomo dan arek-arek Surabaya membuat mereka terhenyak ketika berseru menyerbu, “Allaahu Akbar!” Ini saudara, pikir mereka. Indonesia adalah negeri muslim, dan saudara-saudaranya ini sedang berjihad melawan penjajah yang datang kembali; mereka baru menyadarinya.
Di balik pekik takbir itu tentu adalah Resolusi Jihad yang difatwakan Rais Akbar NU Allahuyarham Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan para ‘ulama pada 22 Oktober 1945. Adalah fardhu ‘ain bagi kaum muslimim dalam jarak safar yang membolehkan qashar menurut Madzhab Syafi’i (94 KM) untuk berjihad dan fardhu kifayah bagi yang di luarnya.
Berbondong laskar santri membentuk barisan Hizbullah dan Sabilillah yang datang dengan berjalan hingga berkereta api ke Surabaya. Harian Kedaulatan Rakjat yang terbit di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 menurunkan tajuk utama, “60 Milijoen Kaoem Moeslimin Siap Berdjihad”, sebagai amanat Kongres Ummat Islam I di kota perjuangan tersebut.
Jembatan merah, sungguh indah.. Jembatan fii sabiilillaah.. Selamat Hari Pahlawan Shalih(in+at). Ta’zhim dan doa bagi para pahlawan tak dikenal, tak bergelar, tak disebut di buku ajar, tak dikenang dalam hening cipta dan upacara nan hingar.