Datanglah ke bekas Wisma Residen Kedu di Magelang itu dan saksikanlah sebuah kursi berlengan cacat. Pegangannya nyaris remuk, menandakan sebuah telapak pernah meremasnya dengan tenaga luar biasa.
Tenaga itu berasal dari kegeraman akibat tipu-tipu nista.
Hari itu, 28 Maret 1830 bertepatan dengan Hari Raya ‘Idul Fitri, 1 Syawal 1245 H. Setelah korespondensi panjang dengan Kolonel JB. Cleerens dan beberapa kali perjumpaan dalam bulan Ramadhan dengan Jenderal HM. De Kock, Sang Pangeran datang ke Wisma. Dia telah mengatakan enggan membicarakan soal politik selama puasa dan mendapat jaminan untuk bebas kembali ke markasnya di Menoreh kapanpun jika pembicaraan tak mencapai titik temu.
Ketika dia turun dari Pegunungan Bagelen Barat melalui Remo Kamal dan menuju Matesih, rakyat berduyun menyambutnya, sebagian mengikutinya hingga jumlah rombongan terus bertambah. Dengan bercanda dia berkata pada Cleerens, “Saya tak mau disambut dengan tembakan salvo kehormatan. Kasihan kalian boros peluru. Toh selama 5 tahun berperang, Belanda telah menembakkan lebih dari 100.000 peluru untuk menghormati saya.”
Humor satir yang cadas dari pemimpin perang yang kepalanya dihargai 20.000 guilders, menewaskan 15.000 serdadu Belanda, membangkrutkan kas 20 Juta guilders, dan membuat Belgia merdeka.
De Kock kelak menulis dalam catatan hariannya, “Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Dipanegara telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”
Ketika pasukan dari garnisun telah dikerahkan mengepung wisma, sementara 800 pengikutnya di Matesih dan beberapa yang mendampinginya juga telah menyerahkan senjata saat tiba, Sang Pangeran bertanya sambil tersenyum getir, “Mengapa saya tidak boleh pulang, Jenderal? Apa yang saya lakukan sebagai sahabat sesungguhnya hanyalah berkunjung sebagaimana adat di Jawa pada selesai puasa, yang muda mendatangi rumah yang dituakan untuk saling memaafkan kesalahan..”
Hari itu dimulailah perjalanan panjang ke pengasingan; berkereta menuju Semarang, dikapalkan ke Batavia, ditahan di Stadhuis, diangkut ke Manado, ditahan di Fort Amsterdam, lalu dipindah ke Makassar. Dalam Babad yang ditulisnya di pengasingan, Sang Pangeran menulis, “Hari itu bisa saja dengan mudah saya bunuh Si Jenderal di hadapan saya. Tapi itu akan mencedarai kehormatan orang beriman, lalu dikatakan boleh membunuh di meja silaturrahmi dan perundingan.”
Tanpa mengecilkan para pahlawan lain, seperti dikatakan Pak @aniesbaswedan, meski hanya 5 tahun lamanya, Perang Dipanegara membawa gelombang yang susul-menyusul bagi kemerdekaan kita. Perang ini membangkrutkan pemerintah jajahan. Karenanya, mereka menerapkan kebijakan tanam paksa. Kritik-kritik terhadap tanam paksa melahirkan politik etis. Politik etis memicu munculnya generasi pribumi terpelajar dan berpendidikan. Merekalah yang mengasasi Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Pergerakan Kemerdekaan, dan akhirnya Proklamasi.
Hari ini 11 November, 232 tahun yang lalu, Sang Pangeran lahir lalu ditimang kakek buyutnya, Sultan Hamengku Buwana I. “Mbok Ratu”, ujar sang eyang pada istri tercinta, “Bayi ini akan memberi kerusakan pada Belanda lebih dari yang kulakukan selama Perang Giyanti (1746-1755).” Lalu Ratu Ageng Tegalreja pun mendidiknya dengan dahsyat. Rahimahumullah.
__________