Ada syair masyhur yang tergubah di abad XV untuk merayakan dakwah. Itulah Lir-ilir yang lirik maupun maknanya begitu indah.
“Lir-ilir, ilir-ilir
tandure wus sumilir.”
(Apa yang ditanam telah tumbuh. Benih-benih kebenaran itu telah mencuat jadi tunas-tunas indah)
“Tak ijo royo-royo.”
(Menghijau menyejukkan, menyegarkan, memudakan. Warna surgawi memfirdauskan bumi)
“Tak sengguh temanten anyar.”
(Bagai pengantin baru, da’wah ini tampan-cantik, raja-ratu sehari nan orang berebut melayani)
“Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi.”
(Wahai gembala, wahai dia yang membimbing ummatnya. Panjatlah pohon belimbing itu, ambillah ‘aqabah; jalan yang mendaki lagi sulit seperti Sang Nabi)
“Lunyu-lunyu penekna!”
(Walau licin, walau terjal, tetaplah mendaki; membebas budak, merawat yatim ,menyantun fakir-miskin)
“Kanggo masuh dodotira.”
(Untuk basuh pakaianmu nan bernoda masa lalu, untuk tebus khilafmu nan membelenggu jiwa sendu.)
“Dodotira, dodotira
kumitir bedhah ing pinggir.”
(Pakaianmu, pakaianmu itu, terkoyak sobek di tepian. Amalmu cacat, iman berlubang)
“Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore.”
(Jahitlah, sulamlah, tamballah, dengan mengikuti setiap buruk terlanjur dengan kebaikan nan bertubi. Untuk menghadap Allah kelak nanti, untuk memantaskan diri di hadapan Rabbul ‘Izzati)
“Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.”
(Mumpung terang purnama, cahaya menyinar jalan, terang membimbing langkah. Mumpung luas medan di hadapan; telah menyingkir alang perintang, telah pergi tiran penentang)
“Dho surak’a, surak hiyooo!”
(Mari bersorak menegaskan kemenangan dakwah, terus berkarya tanpa lelah, tanpa lengah)
Sejiwa dengan lagu ini, di antara penanda kebanggaan akan hidayah Allah dan syiar agama; dari masa Demak hingga bertakhtanya Sultan Agung di Mataram, ramai khalayak mengenakan warangka yang berbentuk Wulan Tumanggal (Bulan Sabit) bagi keris kebanggaan mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul bentuk warangka Branggah yang menggambarkan sebuah bahtera. Terilhami dari buah gayam, muncul pula ragam ketiga yang disebut Gayaman. Kesemua warangka ini bersama pegangan kerisnya menjadi satu kesatuan “Baita Tinitihan Janma” atau manusia yang menaiki perahu, mengarungi kehidupan.
________________
Dari kiri ke kanan; Sang Wulan Tumanggal kayu Trembalo, Sang Gayaman kayu Timoho, dan Sang Branggah yang masih harus sabar menanti bilahnya.? #keris #warangka #deder #tosanaji #syiar #dakwah