“Berlembutlah kalian kepada penduduk Mesir”, ujar Nabi ﷺ, “Sebab kita dengan mereka memiliki hubungan nasab dan perbesanan.”
Hubungan nasab tentu karena Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibunda Nabi Isma’il, adalah putri Lembah Nil. Adapun hubungan perbesanan adalah karena Mariyah Al Qibthiyah istri beliau ﷺ yang melahirkan Ibrahim ibn Muhammad ﷺ berasal dari negerinya Muqaiqus itu.
Nasab ditambah perbesanan adalah perbaikan silatil arham, kasih sayang, dan kelembutan.
Di Jawa, hubungan nasab dan perbesanan terhimpun pada pribadi Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bertakhta 1877-1921) dan Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Pakubuwana IX (1861-1893). GKR Hemas, putri sang Sultan Sugih, akan dipersunting putra Sinuhun Bangun Kedhaton di masa bertakhta nanti sebagai Pakubuwana X (1893-1939). Perbesanan mereka menghimpun kembali kekerabatan Dinasti Mataram.
Kedua raja ini punya kesamaan melalui hidup dalam laku zuhud dan prihatin. PB IX adalah putra Ingkang Sinuhun PB VI yang mendukung perjuangan Pangeran Dipanegara hingga beliau ditangkap, dibuang ke Ambon, dan dibunuh di sana. Demi beroleh penerus takhta, sebagai raja beliau rela bertirakat panjang. Ngarsa Dalem HB VII juga lahir dari HB VI yang saat menjadi Pangeran begitu gigih melawan pengaruh Belanda. Pada dasawarsa terakhir hidupnya juga beliau memilih untuk mesanggrah memperbanyak ibadah di Ambarrukma, dan menyerahkan takhta pada putranya, HB VIII.
Kangjeng Kyahi Panimbal (kiri) yang merupakan pusaka Yogyakarta tangguh HB VII dan Kangjeng Kyahi Kala Jati (kanan) yang merupakan pusaka Surakarta tangguh PB IX, menunjukkan ciri garap sesuai keagungan zamannya. Masa HB VII dan PB IX adalah zaman kemakmuran baru, ketika Keraton menikmati konsesi perkebunan dan berpuluh pabrik gula.
Pertama, bila diraba penipisan bagian pejetan dan sraweyannya sama. Kedua, buntut ganjanya melengkung indah, mbathok mengkurep. Ketiga, sudut kemiringan dari gandhiknya 80-85 derajat. Keempat, ada titik sambung antara pejetan dengan tikel alis, pertemuannya manis. Kelima, tinggi titik sambung itu sama dengan lebar ganja di bawah pejetan. Keenam, sraweyannya menyambung langsam ke bagian ganja.
Ketujuh, pamornya kalem, tidak nyekrak, bagian akhodiyat dan ngintipnya muncul secara elegan pada titik tertentu, lapis-lapisnya tampak di bagian pejetan, dan besinya tampak halus nglugut. Khusus pada Panimbal, pamornya tampak sangat kelam karena entah telah berapa lama tidak diwarangi, menonjolkan wingit-wibawanya. Adapun Kala Jati, kerapihan garap pamornya menguarkan guwaya yang kuat.
Alhamdulillaah. Keindahan pusaka bersama latar sejarahnya, bersiponggang menjadi renungan bagi kita.