Yang satu lebih dikenal sebagai Raja yang banyak membangun, yang satu masyhur sebagai pujangga Jawa. Tapi keduanya punya persamaan; sama-sama ahli ibadah, sama-sama menulis karya sastra.
RM Duksina yang naik takhta sebagai Sri Susuhunan Pakubuwana IX adalah putra sang pahlawan, Sunan PB VI. Sementara R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Mas Ngabehi Pajangswara. Dari sinilah kedua pujangga ahli ibadah ini hubungannya rumit, akibat adudomba Belanda.
Pajangswara adalah orang kepercayaan Sinuhun PB VI. Dia ditangkap dan disiksa Belanda untuk mengungkap hubungan antara sang Susuhunan dengan sang pejuang, Pangeran Dipanegara. Dalam tahanan Belanda, Pajangswara bungkam. Tapi Belanda mengatakan mereka mendapat pengakuan Pajangswara bahwa PB VI menyokong penuh perjuangan kerabat jauhnya dari Keraton Yogyakarta itu.
Atas alasan inilah PB VI ditangkap dan dibuang ke Ambon. Maka sang putra, PB IX, atas berbagai bisikan senada ini, menjadi kurang suka dengan putra Pajangswara, Ranggawarsita.
Pada saat ditanya Sang Raja tentang kandungan permaisuri, Ranggawarsita pernah berkata, “Hayu”. Mengira anaknya diramal lahir perempuan, Sang Sunan Bangun Kedhaton giat bermunajat; tahajjud dan dzikir di malam hari, puasa di siang hari. Akhirnya Allah menakdirkan lahir putra mahkota, RM Malikul Kusno yang kelak bertakhta sebagai PB X.
Dipanggil untuk ditegur karena ramalannya keliru dan untuk membuktikan kemenangan munajat sang Raja, pujangga ini malah menjawab, “Saya dulu menghaturkan ‘rahayu’, artinya selamat. Bukan soal jenis kelamin.” Konon, PB IX makin jengkel jadinya.
Karya-karya Ranggawarsita barangkali sudah banyak dikenal. Tapi Sunan PB IX ternyata juga adalah seorang pujanggga dengan banyak karangan mengagumkan. Salah satu karya masyhurnya adalah piwulang dalam Serat Kidung Sesingir (dari bahasa Arab, syi’r: artinya syair), berikut kutipannya:
//Agama iku perlune yekti, pikukuhe tetimbanganing tyas, nistha madya utamane, mung iku rasanipun dalil kadis kang den semoni, supaya animbanga, sagunging pra ratu, wadya kang sawalang karsa, pinrih sirep saking kuwasaning aji wewaton kitab Quran.//
//Quran iku tembungira rapil, makna murad maksude rinasa, ijmak miwah qiyase, ikhjidyate winengku, rawatana sajroning ati, tinrepana nujwa, kalamangsanipun, anirnaken truhing praja, jerta ratu tetumbaling wong among kingkin, berat asung durmuka.//
ARTINYA:
“Agama itu nyata diperlukan, sebagai patokan dalam pertimbangan hati dalam menentukan keburukan, pertengahan, dan kebaikan, hanya itu yang yang dikupas oleh dalil hadits agar segenap para raja bisa menimbang, bawahan yang memiliki hati yang kecil agar bisa dipimpin oleh raja dengan berdasarkan kitab Al Quran.”
“Al Quran itu pernyataannya kompleks, memiliki makna yang bisa dirasakan, ijma’, qiyas, dan ijtihadnya bisa dikuasai, peliharalah dalam hati, terapkanlah untuk menghilangkan keruwetan di kerajaan, sebab raja itu adalah tumbal bagi pamomong rakyat yang menderita, memberantas apa pun yang menyebabkan keburukan.”
___________
Narasi di atas masih dalam upaya kami sebagai anak Yogyakarta untuk ikut pula mencintai citarasa estetika Surakarta; terwujudkan dalam satu lagi Warangka Ladrang disunggingkan oleh Bp. Laskam di bawah arahan Mas Unggul Sudrajat dari Galeri Omah Nara. Motif Modang (nyala yang tak kunjung padam), dengan dipadu motif plisiran Untu Walang, dan selukis Banyak Sajodho (angsa kesetiaan) menghias bagian atas godhongan.