(Kutub-kutub Pemahaman dan Perpecahan)
“..People believe what they want to believe..”
Pada umumnya kita cenderung mencari apa yang kita sukai, membaca apa yang menarik bagi diri, dan memerhatikan hanya hal-hal yang sesuai dengan ketakjuban pribadi. Hal ini wajar dan alami, selama kita tetap ingin mendapatkan kebenaran dengan meneliti, menelaah, membandingkan, dan memburu kesahihan meski dari sumber-sumber yang tak sewarna.
Tapi bagaimana jika ternyata pihak-pihak yang amat kuat di dunia ini bersekutu untuk membawa kita hanya pada pembenaran, dan bukan kebenaran? Yakni bahwa mereka bekerja keras untuk menyajikan hanya hal-hal yang sesuai dengan preferensi kita saja, dan dengan saringannya membuang berbagai keterangan yang tak kita favoritkan meski sebenarnya amat kita perlukan?
“Perlu kita ketahui”, tulis Yunda Ika Karlina Idris dalam anggitannya yang dimuat Harian Kompas 23 Mei 2016 bertajuk ‘Internet dan Ancaman Polarisasi Opini’, “Google dan Facebook sebagai mesin pencari dan situs jejaring sosial paling populer memiliki sistem rekomendasi yang menyesuaikan dengan perilaku berinternet kita.”
“Pada tahun 2011”, lanjut beliau, “Eli Pariser, seorang penggiat kampanye daring, dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You, menuliskan bahwa Google dan Facebook melakukan personalisasi informasi dalam sistem rekomendasi mereka. Setiap pencarian informasi di Google akan tercatat, setiap interaksi dan perubahan profil di Facebook akan tercatat. Nantinya, catatan inilah yang digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi. Pariser pernah menguji dengan cara meminta teman-temannya memasukkan kata yang sama di Google dan ternyata hasil yang diberikan mesin pencari tersebut berbeda ke setiap orang. Dengan kata lain, Google dan Facebook menciptakan gelembung informasi yang berbeda pada tiap penggunanya.”
Betapa berbahaya.
Karena dengan demikian, sesungguhnya informasi, kabar, berita, dan pengetahuan yang akan kita asup memang hanya itu-itu saja, hanya yang meneguhkan pilihan kita, hanya yang mengokohkan sikap yang sudah kita ambil sejak semula. Subjektivitas kita dikuatkan habis-habisan dan objektivitas kita kian dicekik. Kita digiring menuju sebuah kutub ekstrem yang, -sayangnya-, memang kita syahwatkan.
Pada pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2014 misalnya, mereka yang sejak awal memilih menjadi Prabowo Lover sekaligus Jokowi Hater akan terus digerojok tautan yang kian meneguhkan cinta dan benci itu, hingga menolak untuk mengakui bahwa di pihak seberangpun masih ada kebaikan. Sebaliknya, mereka yang sejak semua memproklamasikan diri sebagai Pro-Jokowi dan Anti-Prabowo juga akan dibanjiri berbagai rekomendasi artikel yang semakin membabibutakan pembelaannya dan menafikan sama sekali adanya keutamaan di pihak lawan.
Betapa berbahaya. Ia bisa membawa anak bangsa ini terkutubkan ke dua ekstrem yang saling berhadapan.
Tapi ia kian berbahaya jika terjadi dalam perilaku beragama dan bahkan berdakwah kita, para muballigh, dan para penyimaknya.
“..Dan janganlah kalian termasuk orang yang menyekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan adalah mereka bergolong-golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga hanya dengan apa yang ada pada golongannya.” (QS Ar Ruum [30]: 31-32)
“Yakni”, catat Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang musyrik yang memecah belah agama mereka dengan cara mengganti, mengubah, serta mengimani sebagian dan mengingkari yang lainnya.” “Maka”, simpul Ibn Taimiyah yang termaktub dalam kitab Dar’ut Ta’arudh, “Tidak boleh bagi siapapun mengangkat orang dan mengajak umat ini untuk mengikuti pola hidup dan peraturannya, senang dan membenci karena dia selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ijma’ Ulama Sunnah.”
Dulu kita mengira, “memecah belah agama” adalah soal yang besarnya sebesar konspirasi jahat, sebesar upaya-upaya sistematis dan terstruktur untuk menghancurkan ummat ini dengan berbagai strategi yang dahsyat. Dalam bayangan kita, pelakunya terasa jauh dan tak terjamah. Dalam benak kita, kita adalah selalunya korban.
Subhaanallaah. Bagaimana jika sebenarnya kita adalah juga pelaku?
Bagaimana jika “farraquu diinahum” juga meliputi “membagi-bagi agama” ketika kita menyampaikan Islam yang sempurna dan menyeluruh ini dalam tema-tema khusus lagi terbatas, yang lalu membuat para penyimaknya mengidentifikasi Islam sebagai hanya apa yang kita sampaikan? Wajah daridiin yang syamil dan kamil ini telah sedemikian rupa dibentuk secara unik oleh apa yang disampaikan para penyerunya.
Bukankah sebagian dari kita telah memilih tema tarbiyah dan perwujudannya dalam politik sebagai arus utama pemahaman Islam; sehingga meski di kalangan para ’ulamanya pemahaman tentang kemenyeluruhan dan kesempurnaan Islam tampaknya mapan, di tingkat terbawah ia seakan membawa kesan bahwa bagian terpenting dari Islam adalah bersiyasah?
Bukankah sebagian dari kita memilih tema khilafah sebagai jawaban final atas berbagai persoalan ummat; sehingga meski di kalangan para ‘ulamanya pemahaman tentang kemenyeluruhan dan kesempurnaan Islam tampaknya mapan, di tingkat terbawah ia seakan membawa kesan bahwa yang paling harus diperjuangkan dari Islam adalah khilafah?
Bukankah sebagian dari kita memilih tema sunnah dan bid’ah sebagai hal yang terus diulang untuk menyadarkan ummat; sehingga meski di kalangan para ‘ulamanya pemahaman tentang kemenyeluruhan dan kesempurnaan Islam tampaknya mapan, di tingkat terbawah ia seakan membawa kesan bahwa Islam ini hanya hendak mengeluarkan orang-orang yang belum menginsyafi kebid’ahan diri dari barisannya?
Bukankah sebagian dari kita memilih tema fadhilah ‘amal sebagai hal yang harus ditekankan di tiap perjalanan dakwah 4 bulanan; sehingga meski di kalangan para ‘ulamanya pemahaman tentang kemenyeluruhan dan kesempurnaan Islam tampaknya mapan, di tingkat terbawah ia seakan membawa kesan bahwa perjuangan Islam ini hanya absah ditegakkan dengan meninggalkan berbagai urusan dalam jangka waktu yang panjang?
Bukankah sebagian dari kita memilih tema Rukun Iman, Rukun Islam, dan Rukun Tetangga yang berupa Yasinan, Tahlilan, hingga Manaqiban dalam menjaga harmoni ummat; sehingga meski di kalangan para ‘ulamanya pemahaman tentang kemenyuluruhan dan kesempurnaan Islam tampaknya mapan, di tingkat terbawah ia seakan membawa kesan bahwa Islam ini hanya hendak melestarikan apa yang sudah ada dan tak hendak bergerak lebih gesit menghadapi tantangan?
Bahkan bukankah secara pribadi-pribadi sebagian kita memilih tema yang khusus semacam shadaqah hingga ummat menduga seluruh masalah mereka akan selesai dengannya, memilih tema tazkiyatun nafs hingga ummatpun mengira segala persoalan akan selesai dengan sendirinya dengan itu, memilih tema dzikir dan shalawat hingga ummatpun mengira semua persoalan dunia ini terjawab damai-damai dengannya?
Kutub-kutub pemahaman keagamaan kita ternyata jauh lebih banyak dibanding soal terekstremkannya masyarakat antara memilih Prabowo atau mendukung Jokowi, dan bahkan lebih pelik dalam soal saling mengelirukan dan menganggap pihaknya paling sempurna.
Bukan. Memang salahnya bukan pada pilihan tema seperti telah kita sebut di atas kiranya.
Pilihan tema tertentu, jika memang di sanalah keahlian kita bukanlah kesalahan. Pilihan tema tertentu, jika disebabkan yang kita lihat menjadi prioritas ummat adalah hal itu juga bukanlah kesalahan. Bahkan pilihan untuk berada dalam sebuah harakah dakwah yang memiliki gerakan spesifik di bidang garap tertentu barangkali juga bukanlah kesalahan, sebab kita memang perlu beramal jama’i untuk menjawab tantangan yang kian rumit. Mungkin yang salah bukan itu semua. Yang keliru adalah jika:
“..keadaan mereka bergolong-golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga hanya dengan apa yang ada pada golongannya.” (QS Ar Ruum [30]: 32)
Maka tulisan ini adalah muhasabah diri kami, dan ajakan evaluasi bagi para da’i penebar ilmu dan cahaya Allah. Adakah kita punya peran bagi keadaan ummat yang kian terkotak-kotak? Adakah kita punya andil dalam menyuburkan semangat “inilah Islam” dalam wajah sempit tapi dianggap sebagai yang sejati hingga ummatpun bergolongan-golongan dan setiap golongan bangga hanya dengan apa yang ada di dalam kelompoknya? Adakah kita selalu menyampaikan ayat yang mulia dan hadits yang suci dengan rasa hati dan nada bahasa “kitalah yang berada di atas jalan haq sedang yang selain kita bathil adanya”?
Bagi kita yang awam penyimak pun demikian, karena kita semua berkecenderungan melakukan cherry picking arguments. Sebagaimana orang pilih-pilih ketika memetik ceri, ini adalah kesalahan logika di mana kita membangun argumentasi hanya berdasar pendapat atau data yang menyokong apa yang telah kita pilih sebagai sikap dan kita klaim sebagai kebenaran, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data atau pendapat lain yang sebenarnya sebagiannya membantah klaim tersebut. Saat mengajipun, pertimbangan pilih-pilih kita bukan soal manakah yang benar dan keliru, melainkah manakah yang cocok dengan preferensi.
Dan dunia maya, seperti telah kita uraikan dalam pengantar tulisan ini, adalah penyubur dahsyat bagi ‘perhujjahan memetik ceri’ yang kita lakukan itu. Sebab mereka punya perkebunan ceri yang amat besar dan telah serta terus pula dengan teliti mencatat selera kita atas ceri; warnanya, tingkat kemanisannya, derajat keasamannya, kadar vitamin, bahkan seberapa kandungan bakteri di dalamnya, dan tentu juga racunnya.
Google dan Facebook misalnya, adalah kebun ceri yang serba mengerti itu.
Maka inilah saatnya kembali kepada jalan para pendahulu ummat ini dalam memahami Diin. Dengan belajar yang tiada henti. Dengan membuka diri seluas-luasnya pada semua sumber ilmu meski berbeda madzhab, berbeda harakah, dan berbeda jama’ah dakwah. Dalam kelompok, kita ini seperti berada di ujung-ujung jari, semakin tekun mengaji pemahaman dengan kejujuran ilmiah, kita akan makin bergerak ke arah telapak tangan dan mengerti betapa sempurna dan menyeluruhnya Islam dengan Al Quran dan Sunnah menjadi panduan yang difahami secara luas dan dalam.
Maka perbedaan itu justru akan menjadi kekuatan jika kita mau saling belajar dan mengakui keutamaan yang lain; sebab mana ada yang menandingi amal agung ribuan kyai dengan jutaan santri di pondok pesantrennya, ribuan aktivis berkemajuan dengan aset-aset ‘amal usaha yang melayani ummat, kader-kader tarbiyah yang menggeluti bidang layanan kemanusiaan, pendidikan, dan politik, kader-kader khilafah yang menyadarkan ummat akan kebobrokan sistem jahiliah, kader-kader tabligh yang setia mengetuk pintu-pintu mengajak ummat meramaikan masjid, dan para asatidz dengan langkah strategis bersama jama’ah setianya yang terus bergerak membina bidang-bidang strategis?
Allahu Akbar. Inilah potensi kebangkitan ummat yang tiada tara.