Namanya Atha’ ibn Abi Rabah. Hitam kulitnya & pendek tubuhnya. Jika berkendara, baghalnya tanpa pelana. Pernah dia menempuh perjalanan dari Makkah ke Syam untuk menjumpai Khalifah Hisyam ibn ‘Abdil Malik; menyampaikan hajat kaum muslimin dari Ahli Bait Rasulillah, penduduk Haramain, tentara di perbatasan, hingga Ahlu Dzimmah lalu pulang setelah semua dipenuhi tanpa meminum seteguk airpun di Istana Khalifah.
Pada masanya, beliaulah Imam Masjidil Haram yang bahkan Ibnu ‘Abbas & Ibnu ‘Umar jika diminta fatwa di Makkah akan berkata, “Bagaimana kalian bertanya padaku padahal di antara kalian ada Atha’ ibn Abi Rabah?”
Tapi Imam Atha’ punya satu pendapat fiqih yang ditanggapi miring. Adalah beliau menyatakan bahwa melempar jumrah pada Hari Tasyriq waktunya afdhal sejak pagi hari. Ini menabrak pendapat jumhur ‘ulama yang menyatakan bahwa ia hanya afdhal sebakda matahari lingsir, bergeser setelah tengah hari.
Pendapat beliau dikecam. Dikatakan bahwa Rasulullah ﷺ & semua Khulafaur Rasyidin saja ketika memimpin haji melempar jumrah hanya setelah zawalusy syams. Dari mana Atha’ mengambil pendapat yang “bid’ah” dan ganjil itu?
Beliau menyatakan bahwa pada saat haji wada’ Rasulullah ﷺ menanti para sahabat berkumpul, baru mencontohkan manasik yang benar. Mereka semua baru tiba di sisi beliau ketika mentari lingsir. Andai para sahabat telah berhimpun sejak pagi, tentu beliau telah melempar sejak pagi pula. “Tapi pengandaian ini tidak dapat dijadikan sandaran”, sanggah para pengkritiknya.
Inilah qaul beliau yang selama 13 abad jadi pembicaraan para fuqaha’ & tidak diambil para ahli hadits.
Tapi pendapat Imam Atha’ akhirnya menemukan tempat dan waktu yang tepat. Kapan itu? Pada tahun 1990-an. Ketika jumlah jama’ah haji berlipat & jamarat kian padat; bahaya yang timbul dari berkumpulnya jutaan manusia mencari waktu afdhal setelah dhuhr memaksa para ‘ulama membahas ulang hal ini. “Alhamdulillah”, simpul Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’, lembaga fatwa Kerajaan Saudi Arabia, “Ada pendapat Imam Atha’ ibn Abi Rabah.” Dengannya, jadwal dapat disusun sejak pagi agar desak-desakan dapat diminimalisasi. Syari’at dan Fiqih menjaga jiwa manusia.
Yang ganjil selama berabad-abad, menjadi jalan keluar di suatu masa.
Fiqih artinya pemahaman. Maka ia adalah pertemuan antara teks syari’at dengan kondisi manusia yang diijtihadkan para Fuqaha’. “Perbedaan dalam fiqh nyaris niscaya”, kata Dr. Yusuf Al Qaradhawi, “Sebab sifat bahasa Arab yang lafazhnya musytarak, perbedaan tingkat keilmuan para ‘ulama, hingga perbedaan tempat & zaman di mana mereka hidup.”
“Fiqh”, ujar Al ‘Allamah Wahbah Az Zuhaily, “Adalah khazanah (perbendaharaan) & tsarwah (kekayaan)”. Imam Muhammad ibn Husain Asy Syafi’i, Mufti Damaskus pada masanya menulis sebuah risalah berjudul ‘Rahmatun lil Ummah fi Ikhtilafil Aimmah’. Ada rahmat, yakni kemudahan, pilihan, & keluasan bagi ummat dalam berbeda pendapatnya para Imam yang berdasar ilmu. Ini tentu tak seperti sengketa awwam yang yang tak berdasar ilmu namun hawa nafsu, yang diikuti ta’ashub dan tak sudi mendengar, yang diisi bertengkar dan enggan belajar.
Sebagai penutup, ada kisah dari Imam Abu Hanifah. Saat menunaikan manasik, beliau bertanya kepada seorang tukang cukur, “Berapa ongkosnya?”
Dia menjawab, “Duduklah, jama’ah haji tak ada tarif khususnya!”
Imam Abu Hanifah duduk sekenanya. Tetiba tukang cukur itu mengarahkannya, “Hadapkan wajahmu ke arah kiblat.” Beliau lalu memiringkan kepala, menyerahkan sisi kiri rambutnya untuk dicukur. “Berikan bagian kananmu dulu”, tegur si tukang cukur.
Saat mulai mencukur, diapun berkata, “Hai hamba Allah kenapa kau diam? Bertakbirlah.” Imam Abu Hanifahpun bertakbir. Seusai cukur dan membayar upahnya, beliaupun berlalu hendak pergi. “Mau ke mana hai hamba Allah?”
“Ambil kendaraan”, jawab sang Imam.
“Kerjakan shalat sunah dua rakaat dulu baru kemudian pergilah!”, perintahnya.
Imam Abu Hanifah merasa sangat malu sekaligus takjub akan ilmu sang tukang cukur. Beliaupun bertanya dari manakah dia mendapat tatacara tahallul seperti itu. “Aku melihat Atha’ ibn Abi Rabah melakukannya”, jawabnya, “Lalu kusuruh orang-orang mengamalkannya.”
Masyaallah. Eh, apakah yang dicontohkan Imam Atha’ dan diajarkan si tukang cukur pada Imam Abu Hanifah ini bid’ah? Ah, jawabnya jelas. Mari tak henti mengaji. Sebab pada ilmu Allah, seharusnya kita punya haus tak bertepi.?