Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis mungkin memang hanya meramu hal-hal lama agar segar kembali. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali.
Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. Maka penulis sejati lihai menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang pada kaidah shahih dan tertentu.
Dia hubungkan makna yang kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan kecenderungan insaniyah. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali. Tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus dan terus mencari. Dia membawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing-masing pembaca; beda pula bagi pembaca yang sama di saat berikut dan berikutnya. Tulisannya membaru dan mengilhami selalu. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan atau bahkan bantahan.
Tapi tentu ada waktu di mana seorang penulis merasa betul-betul buntu. Seakan kehabisan gagasan. Atau kalaupun ada, ia membeku, tak tertuang menjadi kata.
Saat itulah dia tak boleh menyerah. Saat itulah dia dilarang menjadi budak bagi mood dan perasaannya.
Lalu bagaimana?
Barangkali dia perlu jeda yang menyegarkan benaknya. Pemandangan yang menyejukkan. Pendengaran yang menentramkan. Atau gerak jasad yang memicu semangat dan memacu ilham-ilham baru. Selebihnya, dia harus membiarkan pikirannya selalu terbuka, sebab hanya itu cara MEMANCING gagasan yang nantinya membahana.
__________
Mas Nawwaf belajar memancing, Mas Jaisyan menyemangati. Masyaallaah laa quwwata illaa billaah.?