Kabut selepas subuh mengurai kepekatannya dengan enggan. Udara yang berat terasa mendaki lekak-lekuk bebatan surban di kepala para penumpang perahu berlayar ganda berbentuk segitiga itu. Orang Arab biasa menyebut perahu angkut tangguh yang muncul Jake zaman Nabatean itu sebagai Dhow.
Pada akhir November 1823, salju belum turun. Tetapi angin permulaan musim dingin yang keras di selingkar Laut Tengah mulai terasa cekamannya. Embun yang nyaris beku tertinggal di papan-papan kayu ek, tiang serta temali, juga layar putih Dhow yang bercak-bercak. Di kabin, anak-anak yang mengigigil di pangkuan orangtuanya tetap ceria. Mereka menggosokkan telapak tangan, menyebulkan nafas keras-keras, lalu tertawa memperlombakan tiupan siapa yang lebih putih pekat udaranya.
Berjalan bolak-balik di geladak Dhow itu tentu dapat mengurangi pelukan dingin. Syaratnya hanya harus cermat saat melewati penumpang-penumpang yang duduk meringkuk atau bergeletakan dibungkus selimut bergaris-garis. Mereka nyaris tak menyisakan ruang kosong untuk melangkahkan tapak.
Seiring munculnya semburat cahaya dari belakang bayang menara Galata di kejauhan, udara terhirup segar, seakan ia memang meremaja atau lahir kembali setiap pagi. Udara Istanbul selalu muda dan mengilhami, berlawanan dengan air lautannya yang berwarna tua, pasrah, dan berriak dibelah haluan. Air itu tampak begitu purba, tidak peka, dan jumud. Di sini, tepat di mana Dhow yang berlayar dari Iskandaria itu melaju lamban, di batas yang tak jelas antara Laut Marmara, Selat Bosphorus, dan Teluk Golden Horn, perairan itu telah ribuan tahun mengakrabi peluh budak-budak pendayung.
“Merhaba.. Merhaba..”
(Secuplik dari calon novel ‘Sang Pangeran dan Janissary Terakhir)