MENYAMBUNG Sultan AGUNG (Bag. 10)

MENYAMBUNG Sultan AGUNG (Bag. 10)
@salimafillah

Lambang adalah cara manusia berbudaya menyampaikan pesan agar sampai pada yang dimaksud tanpa perlu ada yang tersakiti. Dalam susastra Mataraman, ada “karyenak tyasing sasama”, membuat hati sesama tetap merasa nyaman.

Seiring waktu, kemampuan membaca lambang terkikis. Maka pemahaman keliru tumbuh. Lalu ketidakmasukakalannya dicarikan pembenaran dari hal-hal yang bertentangan dengan agama.

Dalam soal keris, begitu pula halnya.

Kata sahibul hikayat, pusaka negara di zaman akhir Majapahit, Keris Condong Campur menebar hawa panas dan berbagai wabah di tengah masyarakat. Maka tampillah Keris Sabuk Inten. Mereka bertarung di udara pada malam hari dan akhirnya Sabuk Inten kalah. Lalu muncul pula Keris Sengkelat yang berhasil menghalau Condong Campur ke antariksa, memenangkan tawur antar pusaka.

Iyakah keris-keris itu keluar sendiri dari warangkanya, terbang di malam hari, dan bertarung satu sama lain?

Para winasis mengatakan, semua itu perlambang. Condong Campur (cenderung pada padu) adalah golongan bangsawan yang di tengah kian bobroknya kerajaan masih hendak menjaga kekuasaannya di Majapahit yang kian majemuk. Pemaksaan kehendak yang mereka lakukan mendapat perlawanan. Kaum saudagar dan golongan kaya baru di kota-kota pelabuhan, dilambangkan oleh Sabuk Inten (bersabuk permata) terus mendorong berbagai tata nilai baru yang terbuka. Secara politik mereka masih kalah. Desakan golongan ketiga-lah, yakni rakyat banyak yang jengkel hatinya melihat karut-marut negara, dilambangkan oleh Sengkelat (Sengkeling Ati) mengakhiri kerajaan ini. Dukungan rakyat dialihkan pada Trah Brawijaya cabang Raden Patah yang telah memeluk Islam di Demak.

Pelajaran sosiologis yang berharga bagi kita di tengah seruan “Saya Indonesia Saya Pancasila”, “Spirit 212”, dan “NKRI Harga Mati”, tersembunyi di balik kesalahfahaman “keris terbang”.

Pun, diceritakan dalam Babad, bagaimana pasukan Adipati pemberontak yang menguasai Majapahit akhirnya menyerbu ke Giri Kedaton. Saat itu, Sunan Giri melempar penanya, dan ia berubah menjadi Keris Kala Munyeng yang terbang menceraiberaikan pasukan penyerbu.

Kala Munyeng adalah qalam (pena), atau kalam (ucapan); yang menyebabkan munyeng (kebingungan). Ini lambang kekuatan intelektual Sunan Giri melalui tulisan dan lisannya yang membuat para prajurit penyerbu dicekam pertikaian hingga saling serang di antara mereka.

Lambang. Betapa rugi kita jika terjebak pada kisah keris terbang, tanpa belajar dari nilai peradaban dalam peristiwa sejarah yang diselubunginya.

(Bersambung)
____________
Ilustrasi dipersembahkan oleh Koko Seri Sultan Agung dari Fullheart Corp


Posted

in

by