Dalam Al Quran yang mulia; 3 kali kata “Jamil” {bagus, indah, anggun} disebut sebagai cara melaksanakan perintah Allah pada Nabi dan ummatnya.
Penyebutan pertama; {QS 15: 85}; sifat jamil mengiringi perintah berlapang dada untuk memberi kemaafan; “Fashfahish shafhal jamil.. Maka lapangkanlah dada untuk memaafkan mereka dengan kemaafan yang jamil [bagus, indah, anggun]..” {QS 15: 85}
Al Imam Ibn Katsir menafsirkan jamil dalam ayat ini dengan {QS 43: 89} “Fashfah ‘anhum wa qul salaam..” yakni, “Lapangkan dada untuk mereka dan ucapkan salam nan damai.” Adapun Syaikh Muhammad ‘Ali Ash Shabuni memaknai jamil dalam kelapangan dada kala memaafkan sebagai; “Pemberian maaf tanpa disertai celaan.”
Penyebutan jamil yang kedua termaktub dalam {QS 70: 5} sebagai petunjuk pelaksanaan perintah bersabar; “Fashbir shabran jamiila.. Maka bersabarlah engkau dengan kesabaran yang jamil [bagus, indah, anggun].”
“Yakni”, tulis Imam Ibn Katsir, “Sabarlah hai Muhammad atas pendustaan mereka pada seruanmu, permintaan mereka agar ‘adzab didatangkan, dan keyakinan mereka bahwa ‘adzab takkan terjadi.” “Dan hendaknya kesabaranmu itu jamil; yaitu”, ujar Syaikh Ash Shabuni; kesabaran yang tidak disertai keluh kesah, penyesalan, & pengandaian.”
Kesabaran jamil itu; tanpa kesana-kemari mengisahkan derita, tanpa menyesali kebaikan yang ditunaikan, dan tanpa berandai begini maupun andai begitu.
Penyebutan kata jamil yang ketiga ada dalam {QS 73: 10} untuk mensifati cara menjauhi para pendusta kebenaran; “Wahjurhum hajran jamiila.. Dan jauhilah mereka dengan cara menjauh yang jamil [bagus, indah, jelita].” {QS 73: 10}
Imam Ibn Katsir mentafsir, “Jauhkan dirimu dari mereka tanpa perlu mencaci-maki keburukan mereka.” Syaikh Ash Shabuni menyatakan, jamil dalam hal melakukan ‘Hajr’, yakni menjauh dari mereka secara zhahir dan batin. Zhahirnya; menjauh dalam jarak dan pergaulan tanpa mencaci-maki. Secara batin; menjauhkan hati, fikiran, dan perbuatan agar tak menyerupai mereka; berbeda dalam rasa, pemahaman, dan akhlaq sebagai wujud bara’ (berlepas diri) dan juga a’izzah (menempatkan diri lebih mulia) atas mereka dengan jamil; bagus, indah, dan anggunnya penjauhan diri yang dilakukan.
Jika kita renungkan sejenak ketiga penyebutan jamil ini dalam Al Quran; terasa betapa luhurnya Allah mendidikkan akhlaq kepada kita.
Jamil dalam lapang dada kala memaafkan, jamil dalam bersabar atas pendustaan, dan jamil dalam menjauhkan diri dari ahli kebatilan. Sifat jamil di ketiga ayat itu, Allah tunjukkan sebagai cara untuk melaksanakan perintahNya; dalam menghadapi objek yang sama: orang KAFIR.
Seakan-akan kita ditaujih; lapangkan dadamu, maafkan orang kafir dengan jamil; sabari mereka dengan Jamil; jauhi mereka dengan Jamil!
Seolah kita ditaujih; maafkan tanpa mencela, sabari tanpa berkeluh-kesah, jauhi tanpa mencaci maki. Semua harus dilakukan dengan jamil!
Maaf, kesabaran, & penghindaran atas mereka harus dilakukan dengan bagus, indah, jelita, manis, cantik, elegan, ranggi, lembut. Maka betapa menakjubkan kita Ummat Qurani ini; jika tak mampu bersikap jamil; jangankan pada orang kafir, bahkan pada saudara seaqidah.
“Sebab”, tulis Syaikh Ash Shabuni; “Dalam pengarahan akhlaq Qurani berlaku Qiyas Aulawi; jika pada orang kafir kita diperintahkan demikian indahnya; sesama mukmin berhak atas budi-pekerti yang jauh lebih jelita. Semoga Allah menolong kita untuk berlaku jamil senantiasa.
(Berfoto di dekat orang-orang jamil, dengan resiko terlihat kurang jamil. ?
Jazaakumullaahu khayran atas silatil arham @rickyharun @ariekuntung @dude2harlino @ronihelmy)