Dua Bendera

“Syukurilah kemampuan kalian membalas kejahatan”, demikian kata Sayyidina ‘Ali, “Dengan memaafkan.”

Suatu hari 2 bendera berkibar di gunung Abu Qubais. Di atas untanya Sang Nabi duduk dengan kepala tertunduk, ”Fasabbih bihamdi Rabbika wastaghfirh..” Matanya menitikkan bening yang syahdu. Allah memenangkannya hari ini. Dan kedua bendera itu berkibar.

Di salah satu sayap ada Sa’d ibn ’Ubadah, membusung dada penuh kebanggaan. Tatapan matanya tajam berkilat. Hari ini, dengan keislamannya, ia merasa mulia di hadapan Makkah yang tiba-tiba terasa kecil dan takluk pada wadya Madinah yang dipimpinnya. ”Hari ini adalah hari menangnya kebenaran dan hancurnya kebathilan”, katanya. Bendera yang dihela tangan kanannya mengembang, tegak, dan gagah. Bendera yang berdarah-darah melindungi risalah, membela persaudaraan, dan kini mengantarnya pada sebuah kemenangan, bendera Anshar.

Pada sayap yang lain, Az Zubair ibn Al ’Awwam tegak khidmat di atas kudanya. Berjuta rasa berkecamuk di dadanya. Pada Makkah, kota dengan selaksa kenangan baginya. Bayangan kanak-kanaknya yang penuh tawa berselebat dengan bayangan darah dan air mata saat ia dan sejawatnya menegakkan Islam pertama kali, di sana, di titik itu yang kini sedang ditatapnya dengan berkaca-kaca, di dekat Ka’bah yang mulia. Bendera yang dipegangnya meliuk-liuk rindu, bergetar oleh angin nostalgi yang tak terkatakan. Bendera itu, bendera yang menyertai Nabi sejak mula dia didustakan kaumnya, bendera yang terusir dari tanah yang dicintainya, bendera Muhajirin.

Ketika akhirnya Makkah jatuh, kedua bendera itu menyatu gagah di depan Ka’bah. Sang Rasul berdiri di hadapan warga Quraisy yang harap-harap cemas. Quraisy kalah. Mereka takluk. Getir sekali. Mereka meringkuk dalam tekanan perasaan yang amat pahit. “Wahai segenap orang Quraisy”, ucap Sang Nabi dalam wajah yang amat teduh, “Apa yang akan kulakukan pada kalian menurut sangkaan hati kalian?”

Sejenak bayangan penindasan, penyiksaan, kekejaman, pembunuhan, boikot, pengusiran, caci-maki, penghinaan dan segala luka yang mereka timpakan kepada Muhammad beserta pengikutnya bertahun-tahun lalu berselebat di benak tiap orang Quraisy. Ya, apa yang akan dilakukan Muhammad? Kini dia menang dan mereka semua ada dalam genggamannya.

Hari ini, seperti kata Sa’d ibn ‘Ubadah, bisa menjadi hari dihalalkannya yang haram dan bebasnya pembalasan dendam.

“Tindakan yang baik dalam prasangka baik”, Suhail ibn ‘Amr sang duta Hudaibiyah memberanikan diri menjawab Sang Nabi, “Sebab engkau adalah saudara kami yang mulia, putra saudara kami yang mulia.”

Sang Nabi tersenyum. “Pergilah”, ujarnya syahdu, “Kalian semua bebas.”

“Allah memuliakan para penyeru kebenaran”, demikian Sayyid Quthb menulis dalam Fi Zhilaalil Quran saat menafsir Surat Fushshilat ayat 33, “Dengan menyebut kata-kata mereka sebagai sebaik-baik ucapan. Tentu sebab kata-kata mereka bukanlah isapan jempol belaka, atau basa-basi untuk mempercantik bibir. Sungguh setiap kata yang tertebar dari lisan-lisan suci itu diiringi oleh ‘amal shalih dan persaksian keberserahan diri mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

Setelah itu, mungkin sang pemeluk cahaya menghadapi keberpalingan, perilaku buruk, dan keingkaran sebagai imbalan atas ucapannya. Tetapi dia lalu membalasnya dengan kebaikan. Maka jadilah dia berada di tempat yang tinggi.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat: 34)

Memaafkan musuh yang telah bersimpuh, adalah keajaiban.


Posted

in

,

by

Tags: