“Dan saling tolong menolonglah di atas kebajikan dan taqwa..” (QS Al Maidah: 2)
Tahun lalu di sela menjadi pembicara dalam Kuala Lumpur International Bookfair, saya berbincang dengan wartawan stasiun televisi antarbangsa yang berpusat di Doha, Qatar. Satu kata untuk menggambarkan Indonesia ujarnya adalah, “Guyub”.
Hidup rukun bahu membahu dalam perjuangan adalah kekuatan bangsa kita.
Dia mengisahkan dengan sedih bagaimana di sebuah negeri, hanya karena berbedanya partai yang memerintah di tingkat pusat dengan negara bagiannya, penanganan banjir berlarut dan nestapa korban berlanjut. “Di bulan ketiga sejak kejadian”, tuturnya, “Saya masih menemukan seorang nenek bekerja membersihkan lumpur setinggi lutut dari rumahnya. Sendirian. Ya, sendirian!”
“Saya katakan saat itu”, lanjutnya, “Ini haram terjadi di Indonesia. Di sana orang akan menyingsingkan lengan bersama sejak hari pertama untuk meringankan kesusahan, dan kerja dimulai dari anggota masyarakat yang paling lemah.”
“Ketika berjumpa dengan orang berwenang di wilayah banjir itu saya sampaikan, ‘Mengapa hanya karena perbedaan politik urusan kemanusiaan dikalahkan? Anda lihat Aceh kan? Tigapuluh tahun tentara dan orang GAM pegang senjata dan baku tembak nyaris tiap hari. Tapi begitu wilayah itu disapu tsunami, saya melihat sendiri, ada orang mengangkut mayat dengan usungan, yang depan personel tentara dan yang di belakang milisi GAM!”
“Anda sebagai orang Indonesia harus bangga”, sambung wartawan itu dengan mimik serius kepada saya, “Karena laporan di negara-negara donor dan lembaga bantuan tentang bencana di Indonesia, ambillah contoh Tsunami Aceh dan Gempa Yogyakarta, semua mengatakan, ‘Recovery berlangsung berlipat lebih cepat dari perkiraan! Bahkan penanganan bencana topan di negara adidaya itupun kalah!”
Guyub adalah kita.
Lalu kami bertukar cerita tentang kelucuan kunjungan para donatur dari Timur Tengah di Yogyakarta sebakda gempa, 27 Mei 2006.
Saya pernah mengantar seorang Syaikh perwakilan muhsinin dari Kuwait untuk menyampaikan santunan ke sebuah wilayah di Bantul. Dalam bayangan mereka, bencana ini begitu mengerikan, pastilah yang akan mereka jumpai adalah orang-orang yang wajahnya memelas penuh penderitaan berdiri berlinang airmata di dekat rumahnya yang luluh lantak.
Rumah-rumah memang luluh lantak.
Tapi mereka bingung ketika sebuah tenda pesta lengkap dengan panggungnya dihias dekorasi cantik dan tulisan Arab “Ahlan wa Sahlan” menanti rombongan. Hidangan makan prasmanan tersedia. Kesenian Hadroh telah siap pentas untuk menyemarakkan acara. Dan hadirin, sebagian dengan batik dan sarung rapi, sebagian lagi pakaiannya masih berdebu sisa bekerja bakti bersama membersihkan puing dan membangun hunian tenda; semua wajahnya cerah ceria.
Tak ada duka. Senyum anak-anak terkembang, tawa mereka lepas saat bermain dan berkejaran.
“Ya Salim”, kata sang Syaikh, “Wein al bala’? Ini walimah namanya. Bukan musibah. Bagaimana saya bisa membuat laporan untuk atasan saya kalau suasana fotonya macam begini?”
Saya menahan tawa dan agak kesulitan menjelaskan. “Ya Sidi”, ujar saya, “Selama bukan bencana iman, bukankah senyum tetap dapat menjadi kawan bagi musibah?”
Kawan wartawan itu mengisahkan hal serupa. Donatur dari Qatar yang disertainya membayangkan bahwa penyerahan kunci hunian sementara kepada para korban gempa akan dihiasi tangis haru yang agak pilu. Tapi ternyata, di tiap pintu, dia disuguh senyum, juga teh melati yang panas, wangi, dan manis ditambah lemper, bakwan, dan jadah dengan tempe bacem buatan sendiri.
Masyarakat guyub, begitu cepat mereka bangkit.
Guyub adalah perintah Allah dan RasulNya ﷺ, ‘amal kebersamaan yang menjadi ukuran iman kita di keseharian. Ia adalah cinta, kepedulian, dan gotong royong yang mencirikan tingginya keadaban.
Guyub adalah pujian Rasulullah ﷺ kepada kaum Asy’ari di Yaman yang jika musim paceklik tiba, maka mereka mengumpulkan persediaan makanan yang ada dalam simpanan masing-masing menjadi satu. Sebakdanya, konsumsi masing-masing diambil seperlunya dan sama rata, tak lagi diperhatikan berapa yang disumbangkannya, kecuali dalam cinta.
Saya teringat Masjid Gede Kauman Yogyakarta yang dibangun Sultan Hamengkubuwana I. Di plafon serambinya yang kaya pahatan simbol penuh makna, ada ukiran sulur-sulur tumbuhan yang saling bertaut tiada putus. Dalam Bahasa Jawa ia disebut lung-lungan, yang jika dimekarkan menjadi “tulung-tulungan”, dan artinya adalah saling membantu dalam ketaatan, “Wa ta’awanuu ‘alal birri wat taqwaa..”
Ah, kalau ada yang dapat kita tawarkan dari Indonesia untuk kepeloporan kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia, barangkali ia adalah “guyub”. Dan alih-alih menunggu musibah, menajamkan kembali rasa guyub yang kian mahal di masyarakat adalah tugas peradaban kita hari ini.
__________
Saya dan Babeh @haikalhassan_quote tidak selalu bersetuju tak senantiasa bersepakat. Tapi makan bersama bisa. Guyub.