Wahai tulang rusuk yang selalu melindungi hatiku..
Layakkah aku jadi tulang punggung sandaran jiwamu?
Wahai qurrata a’yun yang senantiasa menyejukkan mataku..
Pantaskah aku memohon tuk jadi imam bagi ketaqwaanmu?
Wahai sakinah yang tak pernah lelah menentramkan gejolakku..
Sepadankah aku menjadi mawaddah untuk menggelorakan hidupmu?
Wahai rahmah yang tetap tabah menyayangi lalai alpaku..
Patutkah aku menjadi salah satu wujud berkah tuk menambah-nambahi kebajikanmu?
Konon cinta seorang lelaki bagai gunung api..
Menyala dan bergempa, gemuruh dan meletus, panas dan berasap.
Tapi cinta seorang perempuan seperti kuku-kuku jari.
Selalu tumbuh meski terpangkas berulangkali.
Aku tak pernah mampu jadi gunung yang perkasa untukmu..
Tapi di situ cintamu tumbuh bagai rumput yang lemah lembut, tak pernah luruh dipukul angin ribut.
Bukan umpama batu karang memang..
Tapi seperti terumbu, tumbuh indah dan memberi naungan bagi makhluq samudera raya.
Tentang surga yang kita cita; pintakupun sederhana. Bahwa meski aku seorang pendosa, aku berbahagia telah mencintai engkau yang mencintai Dia dan NabiNya. Lalu dengan cinta itu kaugamit aku menuju ridhaNya.
Tapi aku harus selalu insyaf bahwa kita tak pernah saling memiliki..
Hanya saling dititipi.
Lalu diuji.
Adakah kebersamaan kita memberi makna bagi diri, sesama, dan dunia.
Tak ada yang sempurna, tapi kau tak pernah lebih dan tak pernah kurang..
Bahkan kuakui sejak semula kau bukan pilihan..
Sebab memilih berarti membandingkan..
Dan sungguh, sejak akad terucap, kau tak terbandingkan..
___________
@indahnursalim