“Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada. Susulilah setiap keburukan yang telanjur dengan kebaikan agar bisa menghapusnya. Dan berakhlaqlah kepada manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR At Tirmidzi)
اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن
Sudah menjadi naluri manusia untuk bergaulmesra dengan sesama dalam kehidupan. Bahkan pergaulan adalah pintu yang luas untuk meraih ganjaran agung dari Allah di dunia dan akhirat; dengan bersabar, memaafkan, menebar salam, menyambung silatil arham, beradab sopan, dan berlaku dermawan.
Secara umum kita tak layak membeda-bedakan orang dalam pergaulan. Seperti bunyi hadits di atas, “Berakhlaqlah kepada manusia”, bukan “Berakhlaqlah kepada mukmin”, atau kepada “muslim” saja. Maka hamba Allah yang baik suka bercampur dan membaur, menyatu dalam kebersamaan. Yang ia jaga hanya ‘dari siapa dia mengambil pengaruh baik’, dan ‘kepada siapa ia harus menebar pengaruh baik dan jangan sampai tertular pengaruh buruk.’
Dalam Bahasa Arab hal ini disebut “yakhtaliit wa lakin yatamayyaz”, bercampur baur tapi juga cerdik menempatkan diri. Dia hormat dan lembut kepada sesama insan mulia, serta memberi tauladan luhur ketika bersama yang jahil. Bahkan ia seperti merak, menampilkan keindahan jika diganggu, dan bagaikan gaharu, kian dilukai makin wangi.
Inilah kesejatian pemimpin; manjing ajur ajer. Dia merasuk, berpadu, dan bersenyawa dengan mereka yang dipimpinnya. Ini seperti sifat Kanjeng Nabi ﷺ di ayat ke-128 Surat At Taubah; “Berasal dari kalangan kalian sendiri, amat berat terasa olehnya beban-beban kalian, amat menginginkan kebaikan bagi kalian, juga lembut dan penyayang kepada kalian.”