Ramadhan adalah bulan kemesraan. Hingga dalam rangkaian ayat-ayat tentang puasa, Allah pun mengabarkan kedekatanNya dengan para hamba.
“Jika hamba-hambaKu bertanya padamu hai Muhammad ﷺ tentang Aku”, yakni bahwa para sahabat memang bertanya apakah Allah itu dekat sehingga mereka cukup berbisik, ataukah jauh sehingga mereka perlu berteriak.
Jika yang ditanya adalah Muhammad ﷺ, maka seharusnya beliau yang menjawab. Shighat syarat “Wa idza sa-alaka”, jawabnya adalah “Faqul”, yang berarti “Maka katakanlah hai Muhammad ﷺ bahwa..”
Tapi dekat yang membutuhkan perantara berarti masih berjarak.
Sehingga Allah mengubah khithab, langsung bicara pada hamba-hamba yang bertanya itu, “Fainnii Qariib.. Maka sesungguhnya Aku Maha Dekat.” Seakan Rasulullah ﷺ sementara harus menepi, sebab kedekatan sejati antara Allah dan para hambaNya sungguh tak bertepi.
Allah Maha Dekat, bukan sembarang dekat. Tapi dekat untuk mengijabah doa yang dipanjatkan kepadaNya. Dia mendengarkannya dengan pendengaran yang Maha Sempurna, mengetahuinya dengan Ilmu paling meliputi, dan menjawabnya dengan jawaban paling bermakna.
Ramadhan adalah bulan kemesraan.
Maka bahkan qiyamullail yang biasanya kita sembunyikan dalam hening dan syahdu, kali ini menjadi lebih utama melaksanakannya bersama saudara dengan merapatkan telapak dan bahu. Bersatu, bermesra, dan menadahkan setetes jiwa kita yang dahaga, pada sumber yang berlimpah tiada habisnya.