Hadiah itu tanda cinta. Menghadiahkan hal yang dicintai pada orang tercinta adalah secinta-cintanya cinta. “Tahaaduu tahaabbuu”, demikian sabda Nabi ﷺ.
Telah beberapa waktu, kami di Yayasan Mandat Mataram memikirkan keris apakah kiranya yang tepat untuk jadi tanda sih-katresnan ukhuwah bagi Tuan Guru @ustadzabdulsomad. Ketika ianya masih dalam rancangan, tetiba tim @tafaqquhonline menghubungi kami, menyatakan bahwa Tuan Guru memang menghendaki sebilah keris sebagai ageman untuk penganugerahan suatu gelar budaya bagi beliau.
Maka dalam waktu yang terbatas, kami coba untuk memenuhi harapan sesuai pesanan beliau, sekaligus juga mempersiapkan hadiah persaudaraan itu.
Hari ini, jadilah pesanan beliau. Keris Kyahi Sasmita, dipersembahkan oleh Yayasan Mandat Mataram kepada Tuan Guru Abdul Somad, Lc., MA. dengan harapan dan doa agar beliau senantiasa mewakili suara nurani yang memberi petunjuk pada ummat.
Makna “Sasmita” sesuai kepribadian beliau; luwes karena manthiq yang kokoh dan santun karena balaghah yang mantab khas fuqaha’ Syafi’iyyah, faham perbandingan madzhab dan amat mengetahui variasi aqwal para ‘ulama, ketat pada diri tapi membawa keluasan bagi ummat.
Dhapur (Bentuk Tampilan) #keris ini disebut Sempaner atau Sempana Bener. Sempana artinya fathanah (cerdas cerdik), Bener artinya shiddiq (jujur dan lurus). Ini sesuai dengan pembawaan Tuan Guru sebagai da’i, yang dikenal masyarakat selama ini.
Pamor (Pola Hiasan Meteorit) pada bilahnya termasuk Wahyu Tumurun. Ini menggambarkan Al Quran yang nuzul sebagai bimbingan terus-menerus dalam kehidupan. Adapun Tangguh (Prakiraan Masa Pembuatan) keris ini mendekati ciri Mataram Sultan Agung (1613-1645).
Deder (Hulu Keris) terbuat dari Kayu Trembalo Jawa yang disungging. Warangkanya berbentuk Wulan Tumanggal (Bulan Sabit) sebagai lambang syiar Islam yang masuk ke Nusantara. #Warangka ini populer pada masa Demak hingga masa Sultan Agung. Bahannya kayu Trembalo Jawa gandar iras (utuh), kayu istimewa untuk sarung pusaka.
Sunggingan pada sarung dan hulunya berpola hias Modang, maknanya nyala api yang tak pernah padam, menunjukkan semangat perjuangan yang terus hidup. Sunggingan ini berintikan lambang perjuangan pembebasan Masjidil Aqsha seperti permintaan Tuan Guru, agar beliau selalu ingat untuk bersumbangsih memperjuangkan kemerdekaan Baitul Maqdis.
Selamat mewangking dhuwung, penanda waspada dan hati-hati, Tuan Guru