Syahdan, seorang musafir mengunjungi rumah ‘alim besar di suatu kota, yang dengan amat memesona baru saja menyampaikan sebuah khuthbah Jumat nan tersimak dengan khusyu’.
Memasuki sebuah ruangan dalam bangunan amat bersahaja, dia tak menemukan apapun di sana selain senyum yang tulus, air yang sejuk, dan sajian siang yang dihulur lembut dalam wadah bersahaja. Ketika mengedarkan mata, selain alas yang didudukinya, tak ada benda lain yang lazim mengisi rumah. Kosong. Tapi terasa lapang. Melompong. Tapi tak hampa.
“Wahai Syaikh”, tanyanya memberanikan diri, “Di manakah perabotan dan perkakas rumahtangga Anda?”
Orang arif itu tersenyum. “Ah iya. Nah, di mana pula perabotanmu, Anakku?”
“Saya ini kan seorang yang hanya berkunjung”, jawabnya heran atas pertanyaan.
“Sama anakku, heheh.. Sama”, terkekeh Sang Syaikh. “Aku juga hanya pengunjung di dunia ini.”
Ada makna yang sungguh dalam pada perbincangan ini. Seakan ia pengejawantahan sabda Rasulullah ﷺ kepada Ibnu ‘Umar yang direkam Imam Al Bukhari. “Jadilah engkau di dunia bagai orang asing”, ujar beliau, “Atau musafir yang menyeberangi jalan.”
Sayyidina ‘Abdullah ibn ‘Umar menggarisbawahi dengan menyatakan, “Jika kau berada di waktu sore jangan menunggu waktu pagi. Jika kau berada di waktu pagi jangan menunggu waktu sore.”
Ini penekanan tentang waktu pulang yang rahasia, seringnya tiba-tiba, dan panjang serta rumit perjalanannya di sebalik pintu bernama maut. Maka ziarah adalah peningat akan pemutus nikmat fana dan gerbang nasib abadi.
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387)
_________
Asta Tinggi, Sumenep, Madura.