Tentang Salim A. Fillah

Bapak dan Ibu. Saya harus menyebut beliau berdua jika kita berbincang tentang menulis. Saya yakin, jika Allah berkenan menjadikan tiap huruf yang mengalir dari jemari saya ini sebagai kebaikan, maka kebaikan itu pertama-tama akan menjadi hak mereka.

Bapak dan Ibu, dalam keterbatasan mereka, yang menyediakan untuk saya berbagai-bagai bacaan semenjak saya kecil. Saya terkenang saat saya kelas 5 SD. Ketika itu, Ibu membawa saya ke sebuah toko buku di awal tahun ajaran. Maksudnya tentu untuk berbelanja buku pelajaran dan alat tulis sebagaimana lazimnya anak lain. Karena Ibu ada kepentingan lain, beliau tinggalkan saya di toko buku dengan uang yang pas untuk membeli semua keperluan tahun ajaran baru.

Saat beliau kembali, beliau hanya bisa geleng-geleng kepala. Yang saya beli adalah buku-buku yang sama sekali tidak nyambung dengan anak kelas 5. Yang ada di keranjang belanja justru buku sejarah, biografi tokoh, filsafat, dan psikologi! Seingat saya, dari lisan Ibu hanya keluar pekik, “Masyaallah!” Dan saat sampai di rumah, Bapak saya juga hanya tertawa-tawa.

Selepas SMP, yang juga berarti selepas dari pesantren, saya baru mulai berani menyusun kata-kata. Selalu saja ada yang menyatakan kalimat-kalimat saya unik, tapi itu artinya tak baku. Tak bisa diterima. Di saat seperti itu, Bapak yang adalah guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA selalu membesarkan hati saya. “Bahasa itu kesepakatan”, saya ingat selalu nasihat ini, “Artinya jika penyampai dan penerima telah memahaminya, maka bahasa itu baik dan benar.”

Sebenarnya cita-cita saya ketika kecil klise dan muluk. “Menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.” Di SMA saya sadar, ada peran yang harus saya ambil secara spesifik kalau ingin betul-betul berguna. Dan saya lihat—selain kesibukan berorganisasi yang membuat saya jarang menatap mentari dari rumah—salah satu yang luas jangkauan manfaatnya adalah menulis.

Selama SMA itu, saya ingat, cukup banyak tulisan yang saya hasilkan, alhamdulillah. Saya ikuti aneka lomba kepenulisan. Ada lomba karya tulis ilmiah, penulisan artikel lepas, lomba esai, lomba cerpen—termasuk LMCPI-nya Annida—sayembara novel, dan lainnya. Hampir setiap informasi lomba yang datang ke sekolah, saya coba untuk mengikutinya. Dan alhamdulillah, sampai sekarang belum pernah ada yang menang sama sekali!

Saya juga mencoba mengirimkan berbagai tulisan saya ke media. Ada artikel-artikel lepas, ada opini, ada puisi, ada cerpen. Dan alhamdulilah, hingga sekarang tak satu pun pernah dimuat sama sekali. Maka hingga saat itu, tulisan saya hanya menjangkau teman-teman sendiri; lewat buletin yang ditulis sendiri, diset dan di-layout sendiri, diperbanyak sendiri, dan diedarkan sendiri.

Mungkin semangat yang ada di sanalah, wallaahu a’lam, yang akhirnya mengantarkan tulisan-tulisan itu pada sosok Muhammad Fanni Rahman. Beliau adalah sebenar-benar kakak yang Allah pertemukan dengan saya di aktivitas dakwah remaja masjid se-Kota Yogyakarta. Saya bersyukur jika tulisan-tulisan itu menjadi salah satu pemantik kecil yang membawa beliau pada sebuah keputusan penting: mendirikan Penerbit Pro-U Media.

Buku pertama saya adalah juga buku pertama Pro-U Media. Menuliskan Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan adalah kenikmatan berbagi rasa; menerbitkannya di Pro-U adalah ujian untuk percaya bahwa dari sekecil apa pun, Allah akan memberkahi tiap ikhtiar dakwah. Dan alhamdulillah, saya menangis ketika launching buku ini di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dihadiri lebih dari 2000 orang. Alhamdulillah, membersamai Pro-U membuat saya merasa menjadi bagian dari sebuah cita-cita besar: tidak hanya menerbitkan buku; melainkan juga menerbitkan harapan akan kebangkitan Islam.

Kaya keberkahan
Dari perjalanan menulis selama ini, saya makin tahu, tak ada kendala berarti kecuali apa yang ada di dalam jiwa kita. Dulu saat masih meminjam komputer paman dan mengetikkan tulisan di rental, saya merasa sepertinya akan lebih produktif jika memiliki komputer sendiri. Begitu memiliki komputer sendiri, ternyata sama juga. Saat itu lalu berpikir, jika punya laptop dan lebih mobile, insyaallah lebih produktif. Begitu notebook dimiliki, rasanya sama juga.

Sekali lagi saya menyadari, kendala menulis letaknya bukan di fasilitas, melainkan di dalam jiwa kita. Kita berlindung kepada Allah dari jiwa yang lemah untuk menyampaikan kebenaran, dari hati yang bungkam untuk mencegah kejahatan.

Karena itu, semua hal harus disyukuri. Alhamdulillah, menulis itu rasanya berkah. Dengan menulis saya bisa menyapa ribuan manusia; tak sekadar sapa, tapi sapaan dakwah. Dengan menulis saya bisa bersilaturahim ke pelosok negeri ini; merasa begitu kaya karena banyak saudara yang kemudian menunjukkan kepedulian dengan saran, masukan, kritik, bahkan cerca, dan kecaman. Semuanya memperkaya jiwa; mereka menunjukkan kelebihan maupun kekurangan diri yang takkan saya sadari tanpa respons mereka.

Dengan menulis saya merekam jejak-jejak pemahaman saya; mengikat ilmu, lalu melihatnya kembali untuk—sesekali—menertawakannya. Dan saat saya telah bisa menertawakan kebodohan saya beberapa waktu lalu yang tecermin dari tulisan saya ketika itu, saya jadi tahu, alhamdulillah saya telah mengalami sedikit kemajuan.

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

Comments

2 responses to “Tentang Salim A. Fillah”

  1. […] Dengan menulis ia merekam jejak-jejak pemahaman dirinya. Suatu proses mengikat ilmu, lalu melihatnya kembali untuk—sesekali—menertawakannya. Dan saat ia telah bisa menertawakan kebodohannya beberapa waktu lalu, yang tercermin dari tulisannya ketika itu, ia jadi tahu dan bersyukur kalau ia telah mengalami sedikit kemajuan. (Vina – Sumber: Blog Salim A. Fillah) […]