“Aku adalah anak dua orang yang disembelih.”
Sabda Nabi ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam yang dicatat Imam Al Hakim An Naisabury dalam Al Manaqib ini mengenangkan kita pada dua kejadian besar.
Awal-awal, bahwa sang dzabih, insan yang dikorbankan pertama-tama di garis moyang RasuluLlah adalah seorang anak yang diyatimkan. Dia lahir sebagai jawaban atas doa yang tak kecewa, dalam penantian berlama-lama. Ia adalah harapan untuk hadirnya pewaris risalah, penerus dakwah, dan pelanjut perjuangan yang ditautkan ke langit, hingga Ibrahim sang ayah keriput kulitnya, memutih rambutnya, dan kian uzur tubuhnya.
Lalu sang Kekasih Sejati menguji Ibrahim, pada hal yang paling dijunjung jiwanya dan diluhurkan hatinya. Ialah cinta. Cinta pada istri yang berkulit kehitaman, bertubuh pendek, dan bekas budak namun bernurani selembut susu, bersenyum semanis madu, serta bertutur sesejuk salju. Cinta pada bayi merah yang tangisnya gagah, darah daging dan sibiran tulang yang dinanti dengan gigil takut dan gerisik harap pada Rabb semesta.
Singkat cerita, Isma’il harus diyatimkan, di lembah tak bertanaman, di sisi Rumah Kemuliaan.
Ketika Ibrahim melangkah pergi dengan lisan tercekat, hati sesak, dan mengatup kelopak; berbaur-baur dan berdebur-debur tanggungjawab sebagai ayah dan ketaatan sebagai hamba dalam dada; kesejatian iman Hajar dan Isma’il diuji sampai batas tertinggi agar keajaiban hadir menerangi. Lalu tumbuhlah mereka dalam sebaik-baik pemeliharaan, hingga Ibrahim lagi-lagi harus memejamkan mata saat Allah menguji cintanya dalam penyembelihan Isma’il.
Dari yang diyatimkan, Isma’il menjelma jadi qurban; sosok yang didekatkan dan mendekatkan.
“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail”, begitu sabda Nabi dalam riwayat Imam Muslim,” Dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan Dia memilih aku dari keluarga Bani Hasyim.”
Putra Hasyim yang bernama ‘Abdul Muthalib adalah lelaki dengan tekad baja. Atas kegigihannya, zam-zam yang tertimbun digali, pusaka Isma’il ditemukan, dan Ka’bah yang hendak diserang Abrahah dimenangkan Allah dengan burung-burung kecil. Tapi ada nadzarnya yang menggelisahkan; dia ingin mengorbankan satu putranya dengan menyembelihnya di depan Ka’bah.
‘Abdullah, anak tampan berbudi mulia itu yang terpilih dalam undian. Maka diaraklah dia ke Ka’bah dengan air mata membasahi pipi hampir semua penduduk Makkah. Kemudian semua pemuka bersumpah menghalangi ‘Abdul Muthalib menunaikan nadzarnya, dan para dukun tepercaya menyuruhnya untuk mengganti ‘Abdullah dengan unta. Diundi berulangkali dengan kelipatan 10 unta, nama ‘Abdullah tetap saja yang terpajan. Lalu terserukan syukur gegap gempita, saat 100 unta akhirnya terbaca dalam undian untuk menggantikan nyawanya.
Tapi ‘Abdullah yang di sulbinya tertitipkan bibit cahaya untuk alam semesta itu, nantinya tetap mati muda. Dia tak sempat melihat Muhammad, yang lahir dan tumbuh sebagai yatim. Lalu penutup para Nabi, penyempurna para Rasul, penghulu kekasih Allah ini sempurna keyatimannya dengan kepiatuan, agar Allah menjadi satu-satunya dia bersandaran. Sebagaimana moyangnya, Isma’il ibn Ibrahim diyatimkan, agar utuh memaknai kehambaan.
Hari ini dalam tarbiyah diri dan bulan suci, sayup-sayup kita terngiang sabdanya yang diriwayatkan Imam Al Bukhari, “Aku dan pemelihara anak yatim, akan berada di surga kelak, seperti ini”, sambil berisyarat dengan mensejajarkan jari tengah dan telunjuknya.
Shalawat dan salam kami, sampaikan padanya duhai Rabbi.
sepenuh cinta, (termuat dalam UMMI Agustus)
salim a. fillah