Gaya jalannya.
“Adalah para gadis”, demikian Imam ‘Abdullah ibn ‘Abdil Hakam merekam dalam karyanya yang bertajuk ‘Al Khalifatul ‘Adil’, “Menjadikan gaya jalan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz itu sebagai ukuran keanggunan dan pesona. Mereka berupaya keras melatihnya agar bisa berserupa dan membanggakannya. Inilah lenggang dan liuk langkah penuh gaya ala pemuda kebanggaan Bani ‘Umayyah.”
Unik. Tetapi bagi sang peletak gaya, lenggang itu justru sangat mengganggu.
“Hai Muzahim”, begitu ‘Umar selalu berpesan kepada bekas budak yang kini diangkat jadi menteri utamanya, “Tegur aku jika gaya jalanku seperti itu lagi. Sungguh aku bertekad untuk meninggalkannya. Aku harus bisa mengubahnya.”
“Maka aku akan kelelahan untuk mengingatkanmu wahai Amirul Mukminin”, ujar Muzahim terkekeh. “Karena sungguh kulihat, engkau telah mampu meninggalkan semua bagian kehidupanmu di masa lalu; kekayaan, kemewahan, kemegahan, dan kenikmatannya, kecuali.. Kecuali dalam caramu melangkahkan kaki.”
‘Umar tertunduk. Air matanya menggenangi pelupuk. “Aku takut. Sungguh takut”, dia bergumam geram-geram, “Itu adalah cara jalan angkuh yang dibenci Allah.”
Selalu ada yang tersisa dari masa lalu yang ingin kita tinggalkan. Selalu ada yang tertinggal dari pribadi lampau yang hendak kita lupakan. Sebab kita manusia, perubahan yang paling tajam dan menyeluruh pun masih akan meninggalkan sudut-sudut bergeming. Atau setidaknya, bekas-bekas yang tak tuntas.
Di situlah peran kawan hijrah kita; untuk saling mengingatkan dan menjaga agar bersama terus menanjak menuju keluhuran di sisiNya. Seri Quthuz dari FullHeart yang saya kenakan adalah penanda tekad untuk terus berbenah. Susuri di instagram @fullheart.corp dan @fullheart_katalog untuk busana yang bercerita, menghayati makna sepenuh hati berfeseyen syar’i.
Jazaakumullaahu khayran Abangnda @teukuwisnu atas panduannya dalam bincang pemuda di Masjid Raya Bintaro Jaya tempo hari, juga Abangnda Primus Yustisio dan putra. Semoga berkah di tiap langkah, dihimpun kita dalam ridhaNya.