SAKURA

“Keberanian sejati mengenal rasa takut. Dia tahu bagaimana takut kepada apa yang harus ditakuti. Orang-orang yang tulus menghargai hidup dengan penuh kecintaan. Mereka mendekapnya sebagai permata yang sangat berharga. Maka mereka memilih waktu serta tempat yang paling tepat untuk menyerahkannya. Untuk mati dengan penuh kemuliaan.”

(Eiji Yoshikawa, ‘Musashi’)

Barangkali saya datang terlalu cepat. Atau musim sakura tahun ini yang terlambat. Hanami, prosesi menikmati sakura dengan serius itu belum dimulai.

Sesuai sakurazensen, pemetaan tahunan pergerakan mekarnya sakura, sakura jenis someiyoshino memulai kembangnya di Okinawa pada Februari, dilanjutkan ke pulau Kyushu, lalu Honshu sebelah barat, sampai di Osaka, Kyoto, lalu menjalar ke Tokyo pada akhir Maret sampai awal April, kemudian bergerak perlahan ke utara, dan berakhir di Hokkaido di saat liburan Golden Week.

Tapi di dekat Gua Reigando, tempat Miyamoto Musashi tetirah dan menulis buku Go Rin No Sho alias The Book of Five Rings-nya yang termasyhur, saya menjumpai yamazakura, sakura gunung asli Jepang sebelum someiyoshino disebar sebagai hasil persilangan di zaman Meiji.

Sakura adalah salah satu perlambang kehidupan samurai, karena ia mekar bersemi dalam waktu yang singkat. Seperti sakura, tiap ksatria samurai berharap gugur di puncak kematangannya, sementara jiwanya mengabadi dengan keindahannya.

Hal itu membuat mereka belajar untuk selalu menghargai detik demi detik kehidupan dan menghargai serta menikmati momen-momen di dalamnya sebagai hal yang indah.

Mereka melakukan yang terbaik dalam setiap gerak dan tindakannya karena mereka tidak ingin ada penyesalan dengan membiarkan waktu berlalu begitu saja. Inilah prinsip sakura.

Senyampang itu, saya teringat sebuah ayat.

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang telah gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu, dan mereka tiada mengubah janjinya sedikitpun.” (QS Al Ahzab: 23)

Berbahagialah Anas ibn An Nadhr yang tentang beliau serta para sahabatnya ayat ini turun, demikian menurut Imam Ibn Katsir mengutip riwayat dari Ibn Abi Hatim. Adalah beliau amat menyesali ketertinggalannya dalam Perang Badar, dan menebusnya dengan syahid dihantar 80 luka dalam Perang Uhud. Semoga kita yang didahuluinya, tak mengubah cita tertinggi untuk syahid di jalanNya, sebagaimana Sa’d ibn Mu’adz yang menanti-nanti hingga Perang Ahzab tuk memenuhi janji.

‘Isy kariiman, wa mut syahiidan. Mekarlah seindah sakura, gugurlah seharum misik-misik surga.


Posted

in

by

Tags: