“Matahari musim panas yang terik menyorot Al Asyraf Qansuh Al Ghauri, Sultan Mamluk ke-49”, tulis Eugene Rogan, di bab awal bukunya yang memikat, The Arabs: A History. “Dia sedang memantau pasukannya yang tengah bersiap menghadapi peperangan.”
Hari itu, 24 Agustus 1516, kekuasaan Mamluk yang membentang di Mesir, Suriah, dan Jazirah Arab dipertaruhkan oleh pria 70-an yang memanggul kapak perangnya di atas kuda jantan, dengan sorban putih dan jubah sutra birunya yang indah. Sang Sultan disertai oleh Al Mutawakkil III, Khalifah bernasab ‘Abbasiyah yang sejak awal kekuasaan Mamluk hanya menjadi pemimpin ruhani, para dzurriyah Nabi, 4 hakim agung semua madzhab, serta para wazir dan panglima. Qansuh masih yakin, 20.000 angkatan perangnya akan berjaya.
Selama 2,5 abad, pasukan Mamluk tak terkalahkan. Mereka bahkan memukul hancur pasukan-pasukan terbaik di dunia; legiun Louis IX dari Perancis pada 1249, angkatan tempur Mongol pada 1260, dan gelombang Pasukan Salib terakhir pada 1291.
Tapi Qansuh, dengan pasukan berbaju zirah indah, jubah kuning cemerlang, dan pedang baja bertahtakan emas tidak menyadari bahwa aturan mainnya sudah berubah. Perang tak lagi merupakan perlombaan kejayaan para ksatria yang membabat musuh dari jarak dekat dengan keberanian dan teknik beladiri tinggi yang selama ini jadi inti kejayaan Mamluk. Yang akan dihadapinya adalah Sultan ke-9 Daulah ‘Utsmaniyah dari Turki, Salim I (1512-1520), cucu Muhammad Al Fatih, dengan meriam-meriam raksasa yang menyalak merubuhkan tubuh-tubuh dan menceraiberaikan barisan sebelum dua pasukan berhadapan. Sang bintang abad pertengahan, runtuh di hadapan wakil dunia modern.
Maka pada hari itu, di Marj Dabiq, di luar kota Aleppo, kepemimpinan dunia Islam berpindah dari Kairo ke Istanbul. Salim I, menyusul jatuhnya Damaskus, Kairo, dan Makkah-Madinah, memantapkan gelarnya; “Malikul Barrain wa Khaqanul Bahrain wa Khadimul Haramain, Sultan Ghazi Qaishar i Rumi, Khalifatullah wa Zhilluhu fil Ardhi, Salim Al Awwal.” Dialah “Raja dua benua, Khan Agung dua samudera, Pelayan dua tanah suci, Sultan Panglima, Kaisar Romawi, Khalifah Allah dan Bayang-bayangNya di bumi.”
(Bersambung)