Awal 1830, tinggal Jaya Surata & si cebol Banteng Wareng yang menemaninya merambah hutan-hutan Bagelen Barat. Kekalahan, luka, terpisah dari pasukan, menyerahnya para panglima, musim hujan yang keras, buah-buahan hutan yang memerihkan lambung, demam malaria yang berulangkali datang mencekik, & kejaran 10 Kolone Gerak Cepat Belanda tak membuatnya patah arang.
.
Menakjubkan bagaimana lelaki ini menanggung semua deritanya. Tahukah kita apa yang dia tinggalkan demi jihad gerilya ke hutan-hutan?
.
Lima tahun lalu dia masih duduk nyaman di atas sela gilang hitam mengkilat di tengah kolam cantik berisi ikan warna-warni, dinaungi pohon kemuning yang bunganya berjatuhan ke surban & gamis putihnya, menyemerbakkan harum. Tegalreja, kawasan pemukiman Sang Pangeran membawahi ribuan petani penggarap yang makmur. Hasil berasnya melimpah hingga diniagakan ke Semarang & dikirim dengan dermawan ke berbagai pesantren. Buah-buahan, sayur-mayur, palawija, dan tanaman keras tak kurang-kurang.
.
Para Pangeran di Yogyakarta, sejak masa Sultan Suwargi memiliki kediaman megah dan mewah, meski sebagian runtuh dan rusak pada penyerbuan Inggris 1812. Tapi Puri Agung Tegalreja memang beda. Konon, bahkan Sultan Hamengkubuwana IV yang belia itupun merasa iri dengan wisma kakandanya. Berintikan pendapa luas, pringgitan yang lengkap, dan dikelilingi gandok-gandok tempat para tamu dijamu, para kyai serta santri didhiyafahi, hingga dibekali dan diberangkatkan haji. Memiliki 300 pelayan, 60 di antaranya adalah tukang sabit rumput untuk kuda-kudanya.
.
Kyai Gentayu, kuda terbaiknya, berbadan & surai hitam dengan kaki-kaki berbulu putih. Di depan Puri, Kyai Mandrajuwala, keretanya yang berkilauan selalu siap membawanya melalui Marga Utama & Marga Mulya ke Sitihinggil. Hanya dia yang diizinkan tetap di atas kereta hingga kawasan dalam Keraton, sementara para pangeran & nayaka berjalan kaki. Tapi sebelum masuk istana, dia selalu memilih membelokkan keretanya ke Masjid Gede tuk bermunajat dan berbincang dengan para ‘ulama.