“Maaf, saya menyela”, ujar Pangeran Ngabehi. “Kedua anak angkat saya, A Kwok dan A Jie melaporkan bahwa rekan-rekannya orang Tionghoa penarik cukai gerbang tol sangat mengkhawatirkan kebencian rakyat.”
“Mengapa begitu Paman? Bukankah pajak gerbang tol selama ini sudah berjalan?”
“Tapi beberapa tahun ini, mereka mendapat perintah tambahan dari Ki Patih untuk memungut cukai atas gerobak, kuda beban, pikulan, bahkan gendongan, Anakmas…”
“Apa?”
“Iya benar, Kanjeng Pangeran”, tabik Siauw Cen Kwok. “Bahkan menurut laporan, lewat dengan menggendong bayi juga ada cukainya!”
“Lintah bangkai kamu Danureja!”
“Ampun, Kanjeng Pangeran… Akan saya jelaskan…”
Terlambat. Ketika kata-kata itu menggantung di udara, dengan langkah amat cepat Dipanegara telah menuju ke arahnya. Setapak sebelum menabrak Danureja yang duduk bersila sambil menyembah, Sang Pangeran berhenti lalu mengangkat kaki kiri. Dilepasnya selop yang dia kenakan, lalu dengan wajah menyala, Sang Wali Sultan memukulkan selop itu ke pipi kiri Pepatih Dalem. Hantaman itu keras sekali, sampai sang Rijksbestierder terjerembab ke kanan dan blangkonnya terlempar lepas.
Hadirin menahan nafas ketika Danureja mengaduh terpekik. Dengan gemetar dia ingsutkan tubuhnya ke arah kaki Dipanegara lalu menyembah dan memeluk betis dengan mohon ampun sembari menahan tangis.
Mayor Tumenggung Wiranegara yang melihat sang atasan menyungkur segera hendak menolongnya. Tapi ketika berlalu di depan Sang Pangeran dalam langkah dodok dia merasa tangannya ditarik dengan kekuatan luar biasa hingga tubuhnya terpuntir ke hadapan wajah murka Dipanegara.
“Dan kamu Mukidin! Pria laknat kesayangan Kanjeng Ratu heh? Mau ikut mendukung perampok rakyat si Danureja, iya? Belum pernah sarapan tumitku, kamu!”
Sebuah tendangan telapak kanan beserta selopnya menghajar dada Wiranegara. Komandan pasukan Bhayangkara Keraton itu mengaduh kesakitan dan menelungkup di dekat Patih Danureja yang masih menyembah-nyembah sambil bercucuran airmata.