PADI

Tasindorong jajak manurun,
Tatukiak jajak mandaki,
Adat jo Syarak kok tasusun,
Bumi sanang padi manjadi.

Persawahan di Jawi-jawi, Gunung Talang, Solok ini adalah penanda peradaban Nusantara yang kukuh. “Tidak ada pertanian yang lebih menguras tenaga, waktu, dan pikiran melebihi padi”, tulis Malcolm Gladwell dalam ‘The Outliers’. “Kalau kau bertanam gandum”, lanjutnya, “Kautebar benih dan kautunggu panennya. Di musim dingin kaubisa istirahat penuh. Tapi bertanam padi adalah pergi ke sawah nyaris setiap hari sepanjang tahun. Manusia yang dibentuk pola kerja semacam ini akan sanggup menghadapi tantangan apapun.”

Dalam ‘Serat Walisana’ yang ditulis di masa bertakhtanya Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) di Mataram, dijelaskan bagaimana padi menjadi wasilah dakwah penebar Islam paling berhasil di Nusantara. Adalah Majapahit pada masa Maharani Suhita (1427-1447) dilanda paceklik pangan yang parah akibat Perang Paregreg. Lahan padi gaga yang tadah hujan hancur, para petani ketakutan, dan banyak jadi korban. Maka Maulana Malik Ibrahim, ‘alim yang akrab dengan para Fellahin di lembah Nil itu datang mengenalkan bendungan dan sawah beririgasi teratur hingga berduyun orang belajar bertani kepadanya. Berkembang sedikit demi sedikit dari Gresik, Lamongan, Tuban, proyek percontohannya berbuah menjawab krisis negara.

Serat Walisana lalu menyebut bagaimana cangkul, bajak dan peralatan bertani dikenalkan oleh para Wali penerusnya, bahkan dengan falsafah keislaman mendalam menyertainya. Cangkul misalnya, terdiri atas 3 bagian; Pacul (mata), Bawak (pangkal tumpu), Doran (gagang). Pacul, artinya ngipatake perkara kang muncul (membuang segala niat selain Allah), bawak, artinya obahing awak (bekerja beramal shalih), dan doran maknanya ndedonga marang Pangeran (senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah).

Di kala itu, titik awal dakwah dimulai di pertanian sebagai jawaban atas persoalan objek dakwah. Hati-hati insan lalu tertaut dan melembut untuk diperkenalkan pada iman dan ibadah. Di manakah kini dakwah yang seterencana itu?

Tiga perempat abad setelah rintisan itu, Maulana ‘Ainul Yaqin yang menjadi mahaguru Islam di Giri Kedaton, hingga oleh Tome Pires disebut ‘setara Paus di Vatikan’ bagi Raja-raja Nusantara menggubah senandung tentang keberhasilan dan kesinambungan dakwah dengan kiasan tanaman padi.

Lir-ilir, lir-ilir,
Tandure wus sumilir,
Dak ijo, royo-royo, daksengguh temanten anyar,
Cah angon, cah angon,
Penekna blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu penekna, kanggo masuh dodotira
Dodotira, dodotira, kumitir bedhahing pinggir,
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore,
Mumpung padhang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Dho surak’a, surak hiyooo…


Posted

in

by

Tags: