Ada guyonan dari seorang ‘Alim Syam pengikut Imam Abu Hanifah yang kami kunjungi di Istanbul, kota yang juga kebanyakan penduduknya mengamalkan Fiqih Madzhab Hanafi.
Allaahu Maliki. Wannabiy Muhammadin ﷺ Syaafi’i. Wa Diinii Ahmadi. Wal Hanafiyyah Laa Tadkhulul Jannah.
Artinya?
“Allah itu Maliki. Nabi Muhammad ﷺ itu Syafi’i. Agamaku sesuai ajaran Ahmad. Dan Hanafiyyah itu tidak masuk surga.”
Wah, ngeri.
Tapi tentu saja ini bermakna, “Allah Penguasaku. Nabi Muhammad ﷺ Pemberi Syafa’atku. Agamaku sesuai ajaran Ahmad ﷺ. Dan KERAN AIR itu tidak masuk surga.” Ya, bahasa Arab untuk keran air adalah “Al Hanafiyyah”. Jadi ini dagelan plesetan.
Fiqih adalah pemahaman. Dan ia memang meniscayakan keragaman bersebab perbedaan khabar yang sampai, daya tangkap, metode penalaran, hingga kaidah penyimpulan yang dipakai. Dan fiqih, dengan demikian tidak bicara “haq dan bathil” tapi “tepat” dan “lebih tepat menurut kami”.
Seperti kisah para sahabat yang diutus ke Benteng Bani Quraizhah. Kepada mereka Rasulullah ﷺ bersabda, “Jangan sekali-kali kalian shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah.” Di tengah perjalanan, karena senja telah menjelang, sebagian sahabat memilih melaksanakan shalat ‘Ahsr dulu. Mereka memahami perintah Nabi itu sebagai “Bergegaslah!”, tapi sebagaimana Surat An Nisa’: 103, shalat tetap harus sesuai waktunya. Sebagian lagi menganggap perintah Nabi ﷺ itu mutlak, sehingga baru menunaikan shalat ‘Ashr setelah sampai, meski waktunya telah jauh malam.
Adakah yang disalahkan oleh Rasulullah ﷺ? Tidak.
Begitu pula qaul Imam Atha’ ibn Abi Rabah yang dianggap ganjil dan menabrak ijma’ tentang melontar jumrah hari tasyriq, yakni afdhal walau sebelum zawal. Kini, 1350 tahun kemudian pendapatnya diambil, agar setelah Dhuhr jamarat tidak terlalu sesak hingga membahayakan jiwa.
“Fiqh”, ujar Al ‘Allamah Wahbah Az Zuhaily, “Adalah khazanah (perbendaharaan) & tsarwah (kekayaan)”. Imam Muhammad ibn Husain Asy Syafi’i, Mufti Damaskus pada masanya menulis sebuah risalah berjudul ‘Rahmatun lil Ummah fi Ikhtilafil Aimmah’. Ada rahmat, yakni kemudahan, pilihan, & keluasan bagi ummat dalam berbeda pendapatnya para Imam yang berdasar ilmu.
Ini memang berbeda dengan ikhtilaf atas dasar hawa nafsu yang kadang melahirkan perpecahan, atau kelucuan.
Kata sahibul hikayat, satu saat ada jama’ah haji Indonesia bernama Pak Jumadi sedang melaksanakan shalat sunnah. Jama’ah dari Pakistan yang ada di sampingnya memperhatikan dengan sangat serius. Dilihatnya ada beberapa perbedaan tatacara dibanding Madzhab Hanafi yang dianutnya.
Maka seusai shalat dia bertanya, “Enta Syafi’i?”
Jama’ah Indonesia kita menjawab dengan sangat mantap sambil menjabat tangannya dengan erat, “Laa. Ana Jumadi.”
Dan sang Pakistani pergi sambil berdecak-decak dan menggelengkan kepala. Mungkin dia pikir, “Madzhab macam mana pula lagi itu Jumadi?”