Adalah Imam Asy Syafi’i tak pernah berani duduk pada tempat Muslim ibn Khalid ataupun Sufyan ibn ‘Uyainah di Makkah, juga kursi Imam Malik di Madinah dan Muhammad ibn Hasan di Baghdad, meski para guru itu telah meridhainya berfatwa, dan khalayak mengakui bahwa dialah yang paling tinggi ilmunya.
Bagi seorang santri kendil seperti saya, Kyai adalah keramat yang harus dijunjung mulia. Kami takkan menyengaja berjalan di hadapannya. Kami terbiasa melakukan lampah dhodhok, berjalan jongkok kala berada di sekitar duduknya. Kami berrebut membalik sandalnya jika beliau sudah masuk Masjid ataupun tedhak nDalem. Kami berrebut meletakkan sajadah atau surban kami sebagai alas mengaji bandungannya, juga menabur parfum di mejanya. Kami memijat kakinya seusai mengaji sorogan tanpa pernah berani menatap wajahnya. Dan di sela itu semua, diberi kesempatan mencium tangan apalagi menghabiskan minumnya adalah kehormatan tiada tara.
Perintah Kyai adalah amanat yang kokoh bagi santri.
Tersebut riwayat tentang seorang santri dari Mbah Mad Watucongol, Magelang, rahimahullah, yang telah bertahun-tahun mondok berkhidmah dan tiba waktu untuk pulang ke kampung halaman. Maka kepadanya Mbah Mad berpesan, “Nanti kalau sudah berada di rumah, lanjutkanlah pekerjaan Ayahmu.”
Santri ini rupanya sudah ditinggal wafat Ayahnya semenjak kecil. Maka bertanyalah dia kepada Ibunya, apa kiranya pekerjaan sang ayah. Bukannya menjawab, sang Ibu justru menangis tersedu-sedu. Hingga tiga hari berturut-turut, begitu yang terjadi. Ibunya terisak-isak, hingga akhirnya berkata, “Ayahmu dulu… Seorang pencuri…” Deg.
Perintah guru adalah jimat terpundi, tapi haruskah dia menjadi pencuri?
Maka diapun mencoba mencari-cari, siapakah gerangan di desanya yang rumahnya layak dicuri. Didapatinya seorang saudagar kaya, yang terkenal agak kikir dan jarang berbagi pada tetangga. Maka suatu malam seusai tahajjud memohon petunjuk Rabbnya, dia mencungkil jendela dan memasuki kantor tempat sang saudagar biasa mengadministrasi kekayaannya. Berbagai dokumen dia keluarkan, lalu dengan bantuan lampu senter kecil, mulailah dia menghitung zakat aneka usaha dari pertanian, peternakan, hingga perdagangan sang juragan.
Dan ceklak, lampu pun menyala. Dia tertangkap basah oleh tuan rumah.
“Siapa kamu?”
Dia sebutkan nama lengkap beserta nasab dan alamat rinci.
“Mau apa di sini?”
“Mencuri, Ndara.”
“Kenapa mencuri?”
“Atas perintah Kyai saya agar saya melanjutkan pekerjaan bapak saya.”
“Lha kok nggak ambil apa-apa malah hitung-hitungan?”
“Sedang saya hitung semua zakat Ndara, hanya itu yang akan saya ambil untuk saya bagi-bagikan.”
“Wah, menarik ini.”
Singkat cerita, obrolan jelang Shubuh itu telah membuat sang juragan begitu terpesona akan pemahaman keislaman sang santri dan baktinya kepada sang Ibu serta sang guru. Tanpa ragu, dia meminta pemuda itu sudi menikahi putri semata wayangnya, dan menjadi pewaris yang melanjutkan usahanya.
Yang ekstrim begini memang langka, tapi yakin, berbakti pada perintah Kyai, bagi kami santri kendil pastilah sesuatu yang indah ujungnya. “Jangan ganggu Kyaiku. Jangan sakiti ‘ulama kami”, adalah syiar harga mati.
Ini juga salah satu Kyai kami, Imam Muhammad Awod Joban di Masjid Ar Rahmah, Seattle, Negara Bagian Washington, Amerika Serikat. Kiprah dahsyatnya? Google akan menjawab untuk Anda.