Sejak masa Demak, hubungan Jawa dengan Palembang sangat dekat. Sebagaimana diketahui Adipati Arya Damar-lah yang membesarkan Raden Patah, Pangeran Majapahit yang kelak mensuarkan syiar Islam dari pesisir utara Jawa itu.
Sebakda wafatnya Raden Trenggana dan terjadi kemelut di Jawa, Ki Gede ing Suro, salah seorang bangsawan Demak lari ke Palembang. Hubungan Palembang-Pajang tercatat kurang baik, hingga berdirinya Kerajaan Mataram Islam di bawah Panembahan Senapati. Palembang kembali tersambung dengan Jawa.
Adalah Sultan Agung, Raja Mataram yang masyhur itu memberi perlindungan pada Palembang dari serangan Banten dan VOC pada 1626. Palembang membalas kemurahan hati itu dengan seba, hadir menyatakan kesetiaan ke Mataram pada 1627 membawa berbagai hadiah termasuk rusa, gajah, dan harimau. Guci berisi zamzam yang juga turut dipersembahkan, hingga kini tersimpan di makam Sultan Agung di Imogiri dengan nama ‘Enceh Kyai Danumaya’.
Palembang, bersama Jambi di Sumatera, juga Sukadana dan Banjar di Kalimantan suka hati mendudukkan diri sebagai Kawula Sabrang (vasal seberang lautan) Sultan Agung. Komisaris VOC, Hendrik Van Gent mencatat betapa gaya hidup, boga, dan busana di Kedaton Karta, tenggara Yogyakarta sekarang, diikuti dengan bangga di kesemua daerah itu, bahkan dipuja-puji dalam Hikayat Banjar dan Jambi.
Sejak itu, bahasa Jawa dan Melayu berjumpa, bertukar, dan bergabung; berkembang menjadi varian yang hingga kini dituturkan di Sumatera Selatan, Jambi, dan Banjar hingga Kutai. Sebagaimana di Priangan yang kekuasaan Sultan Agung membuat Bahasa Sunda nan semula satu menjadi bertingkat sesuai adab kesopanan, kitapun mengenal bahasa Palembang Sari-Sari dan Palembang Alus.
Sayang, pertautan yang dijalin seorang ayah sering tak dapat dilanjutkan anaknya.
Ketika penguasa Palembang, Ki Mas Hindi Suryokesumo meminta bantuan menghadapi VOC pada 1659, putra Sultan Agung, Susuhunan Amangkurat I menolak menjumpai duta Palembang di Kedaton Pleret.
Ketika Ki Mas Hindi murka mendengar utusannya dipermalukan, dia melepas dan melempar blangkon yang dulu dengan bangga dia kenakan. Sebagai ganti, dia sambar selembar kain yang lalu dilipat diagonal dan diikatkan secara bersahaja.
Sejak itu para bangsawan Palembang turut serta menanggalkan blangkonnya, berganti memakai kain segitiga sebagai ikat kepala yang disebut ‘tanjak’. Ki Mas Hindi pun ditahbiskan sebagai raja merdeka dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin.
____________
Fullheart Corp menghadirkan koko seri Sultan Agung untuk menautkan kembali Nusantara; lengan panjangnya saya pakai sebagai wakil Jawa dan lengan pendeknya dipakai Ustadz @zaky_zr yang asli Komering mewakili Palembang.