Kebangkitan: GIGIH, GAGAH

Sultan belia itu tahu bahwa yang akan dihadapinya adalah saudara sesama muslim, bahkan saudara tua dari keturunan ‘alim agung penyebar Islam di Jawa nan amat dihormati; Sunan Ampel. Tapi pilihannya pelik. Persatuan kaum beriman se-Jawa di bawah daulatnya adalah cita dan amanat leluhur yang akan diperjuangkannya seberapapun harga yang harus dibayar.

Apalagi Sultan ini tahu, kekuatan asing yang berseliweran di lautan Nusantara kian mengancam seperti ketika VOC menjarah dan menembaki Pelabuhan Jepara. Bersatunya Jawa di bawah satu kuasa adalah hajat mendesak.

Naik takhta di Kotagede dalam usia 20 tahun pada 1613, Raden Mas Jatmika yang kelak masyhur sebagai Sultan Agung segera mengarahkan pandangan ke timur, ke negeri yang dengan gigih menolak tunduk. Negeri itu adalah Surabaya.

Kota ini dengan gagah menantang Mataram sejak masa pemerintahan kakeknya, dipimpin penguasa pemberani bernama Pangeran Adipati Jayalengkara.

Prof. Merle C. Ricklefs dalam ‘Sejarah Indonesia Modern’ menyebutkan bahwa Madura, Banjar, dan Sukadana termasuk dalam wilayah kekuasaan Surabaya. Kitab ‘Sedjarah Dalem’ bahkan menyebut bahwa pengaruh Surabaya menjangkau daerah Jawa maupun luar Jawa yaitu, Bang Wetan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Pulau Sulawesi bagian tengah hingga selatan serta sebagian kepulauan Maluku bagian selatan.

Seorang duta VOC, Artus Geijsel, menggambarkan bahwa lingkaran kota Surabaya berjejari 5 mil. Separuhnya dikelilingi benteng baluwarti kukuh dan setengahnya lagi dibarikade dengan tanggul tanah yang tinggi. Parit lebar memisahkan tembok kota dari dataran di luarnya. Di setiap jarak terjauh tembakan meriam dari bastion terdapat satu benteng kecil berbentuk bujur sangkar, dengan setiap benteng tersebut dilengkapi 10 hingga 12 meriam.

Kota ini sangat gagah, dengan pemimpin dan rakyat amat gigih. Serbuan Panembahan Senapati pada 1598-1600 berhasil dipukul mundur, penyerangan akbar oleh Panembahan Hanyakrawati pada 1610-1613 juga dipatahkan.

Prof. HJ. De Graaf dalam karya dahsyatnya, “De Regering van Sultan Agung, vorst Van Mataram, 1613-1645 en Die van Zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapyak 1601-1613” menggambarkan ikhtiyar sabar Sultan Agung dalam menundukkan Surabaya. Tak seperti Ayah dan Kakeknya yang melakukan serbuan langsung namun gagal, raja yang awalnya bergelar Panembahan Hanyakrakusuma ini jauh lebih berhati-hati.

Alih-alih langsung menikam jantung, Sultan Agung memilih melemahkan dahulu Surabaya dengan 2 cara; menaklukkan wilayah-wilayah pendukungnya, dan merangkul simpati para penguasa daerah lain serta rakyat kepadanya.

Maka pada 1614 Tumenggung Suratani diperintahkan mengambil alih Pasuruan. Upaya ini gagal karena pasukan Pasuruan bertempur habis-habisan. Sembari mundur ke Winongan, Tumenggung Alap-alap diperintahkan menguasai Lumajang, Renong, dan Kadipaten Malang. Pangeran muda Panji Pulangjiwa gugur, sementara ayahandanya sang bupati, Rangga Tohjiwa ditangkap dan dihadapkan pada Sultan Agung.

Seringkali terjadi, para penguasa daerah semula mengira Raja Mataram hanya orang pedalaman yang amat layak diremehkan. Tapi Sultan Agung ternyata berbeda. Wibawanya, ilmunya, keshalihannya, dan perlakuannya yang penuh akhlaq pada yang menyerah membuat banyak penguasa daerah akhirnya merunduk.

Pada 1615 giliran Wirasaba, wilayah yang kini bernama Jombang-Mojokerto takluk dan bersetia, sebab Sultan Agung sendiri memimpin pasukan Mataram ke kadipaten ini sebagai penghormatannya terhadap bekas ibukota Majapahit.

Pada 1616-1617 Lasem dan Pasuruan ikut pula tunduk. Menyusul jatuhnya Tuban pada 1619, kota yang dengan kayu jati dari Grobogan-Bojonegoro menjadi galangan kapal bagi wilayah timur itu menjadikan Mataram mampu membangun angkatan laut untuk mulai merangkul sekutu-sekutu Surabaya di seberang.

Maka berturut-turut, pada 1622 Sukadana dan Banjar di Kalimantan menyatakan kesetiaan pada Sang Sultan melalui Tumenggung Bahureksa yang menyeberang dengan armada dari Kendal. Lalu Madura yang menjadi sekutu terdekat dan terkuat Surabaya dan berulangkali menggagalkan serbuan Mataram; mulai dari Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan berbai’at pada Mataram di tahun 1624. Sejarah mencatat bagaimana perempuan Madura membuat Sang Sultan takjub. Mereka turut berperang dan sama lihainya dengan para lelaki dalam olah senjata. Mereka berjaga di belakang, dan tiap melihat pasukan Madura lari mundur dengan luka di tubuh bagian belakang, merekapun membunuh pengecut-pengecut itu.

Pangeran Prasena yang menyerah lalu diangkat menjadi wakil Sang Sultan untuk seluruh Madura bersatu dengan gelar Cakraningrat I. Di Sumatera, Palembang dan Jambi yang semula adalah sekutu Surabaya akhirnya memutuskan bantuan, meski baru akan bergabung menjadi vassal Mataram pada 1636.

Pada 1625, setelah pengepungan panjang, keadaan Surabaya yang gagah lagi gigih itu telah amat memprihatinkan. Suplai pangan putus, bantuan luar tak dapat lagi diharapkan.

Tumenggung Mangun Oneng yang diserahi tanggungjawab menaklukkan Surabaya ingin bergegas. Maka diperintahkannya membendung Kali Mas, anak Sungai Andaka-Brantas dengan batang kelapa dan bebatuan. Ketila aliran yang masuk kota telah amat berkurang, dia memerintahkan untuk memasukkan bangkai binatang dan buah aren ke dalam sungai itu. Air yang masuk kota menjadi sedikit, berbau amat busuk, menimbulkan gatal-gatal, dan berpenyakit. Surabaya guncang.

Tak kuat menyaksikan rakyatnya menderita, Pangeran Adipati Jayalengkara akhirnya luluh. Seribu prajurit berbendera putih dipimpin putranya, Pangeran Pekik keluar ketika gerbang kota dibuka. Surabaya menyatakan menyerah. Sultan Agung dengan penuh penghormatan menyambut ayah dan anak ini, bahkan Pangeran Pekik lalu dinikahkan dengan adik sang raja Mataram yang tercantik; Ratu Pandansari.

Sultan Agung tak salah memilih ipar. Kelak pasangan Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari akan memberikan darmabakti yang luar biasa bagi Kesultanan. Orang gagah lagi gigih dari Surabaya ini, sekali tersentuh hatinya akan menjadi saudara yang amat setia.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Dari Kinderdijk, kami mengenang Surabaya, tempat Sang Guru Bangsa Tjokroaminoto mendidik sebagian di antara para bapak pendiri negeri. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.?

_______________________
?: Fullheart


Posted

in

by

Tags: