Telah kukatakan padamu, andai keberduaan hakiki ada di dunia ini, takkan pernah kutinggalkan engkau walau sedetikpun. Tapi kita sama-sama mengerti, kebersamaan sejati adanya di akhirat nanti, maka sesekali aku pamit pergi, demi menambah bekal kita tuk hari kembali.
Ada yang menanyaiku karena melihat betapa seringnya aku tak di rumah, “Kamu itu tak pernah pulang ya?” Kujawab pada mereka, “Justru aku sering pulang. Karena aku sering pergi.” Ya, hanya orang yang tak pernah pergilah yang juga tak pernah pulang, bukan?
Untunglah kau selalu mengerti, saling mendoakan lebih penting daripada selalu berjumpa, dan bertemu dengan sesekali terjeda rindu menderu jauh lebih menguatkan cinta daripada senantiasa bersama.
Maka inilah aku, yang terbata mengeja kesetiaan; bukan tak pernah tergoda, tapi aku berjuang untuk selalu insyaf ke mana harus menuju ketika liuk nafsu berkecamuk. Padamu yang dihalalkan untukku. Padamu yang dihalalkan untukku.
Ah iya. Jarak dan waktu sering menyembunyikan kecantikanmu. Untunglah ia, telah terlukis di dalam hatiku. Yah, meski sesekali digerhanakan rindu..
Istriku, di hadapanku sering duduk manis ratusan bidadari, gemerlapan mereka bagaikan bintang gemintang.. Namun andai kauhadir di sini Cintaku Sayang, mereka semua akan terbenam hilang.. Seperti bintang-bintang tak tampak lagi, ketika mentari terbit meninggi.
Engkau, hangat dan cahaya, adalah matahari hati ini..
Akhirnya hanya deras hujan dan daras Quranmu; tiap rinai dan senarainya mengilaukan bayang wajahmu; jatuh berdebur ke dalam hatiku. Allaahummaa shayyiban naafi’a..
(Ini sih cerita soal hujan di Jogja sore ini saja. ?)