GERILYA

Selain catatan pendek pengalaman Mao di Tiongkok, kisah-kisah T.E. Lawrence di Timur Tengah, dan memoar Che Guevara yang terbit kemudian; buku ‘Fundamentals of Guerilla Warfare’ karya Jenderal Besar A.H. Nasution adalah panduan gerilya dahsyat yang hingga kini menjadi buku pegangan di berbagai akademi militer terkemuka dari Breda di Belanda, Sandhurst di Inggris, hingga Westpoint, Amerika Serikat.

Ditulis pada tahun 1953, buku ini adalah saripati pengalaman Pak Nas ketika memimpin Divisi Siliwangi dalam Perang Bandung Lautan Api, namun juga lebih-lebih pembelajaran yang dia dapat dari Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui sejawatnya, Ahmad Yani.

Sanad ilmu gerilya ini rupanya naik terus ke atas, karena Sudirman mendapatkannya dari gurunya, KH. Busyro Syuhada’ yang dengan aliran pencak silat banjarannya adalah pendiri beladiri Tapak Suci di Persyarikatan Muhammadiyah. KH. Busyro berayahkan KH. Syuhada, putra KH. Musa dalam pernikahan dengan seorang bangsawati hebat bernama Raden Ayu Muntheng.

Ketika menikah dengan KH. Musa, Raden Ayu Muntheng adalah janda dari salah seorang panglima tertangguh Perang Jawa (1825-1830) dari keluarga Danureja-Sindunegara, Raden Basah Abdul Kamil Mertanegara. Ah, saya hampir lupa menyebut hal terpenting ini; Raden Ayu Muntheng adalah putri sang pemimpin agung gerilya terhebat yang menewaskan 15.000 serdadu Belanda dan membangkrutkan keuangan Pemerintah Jajahan itu; Pangeran Dipanegara.

Ilmu tentang gerilya melalui sanad ini telah mengilhami perlawanan dahsyat terhadap imperialisme di berbagai negeri, dari Amerika Selatan, Vietnam, hingga Afghanistan.

Semalam, kami berbincang dengan Ki Roni Sodewo, ketua Paguyuban Trah Pangeran Dipanegara (Patrapadi) yang juga sedang ‘bergerilya’ menghimpun keluarga sang mujahid yang kini tersebar di penjuru dunia. Gerilya Ki Roni juga mencakup upaya membangunkan kesadaran sejarah anak-anak bangsa, agar mereka menangkap ‘api’ dan ‘cahaya’ dari pengalaman masa lalu, bukan hanya sehirup ‘asap’ dan secoreng ‘arang’ seperti yang terasa dalam pengajaran sejarah di sekolah. Gerilyanya dilengkapi dengan pendirian Yayasan, penelitian, penyelenggaraan berbagai acara, penerbitan buku, hingga menghidupkan kembali ‘Wayang Dipanegara’.

Kembali pada Pak Nas yang dikenal sebagai Bapak doktrin Dwifungsi ABRI, di mana tentara dengan hal ini menjadi kekuatan pertahanan keamanan sekaligus kekuatan sosial politik, rupanya ada catatan menarik yang satu seperempat abad mendahului penerapannya oleh Orde Baru. Ia termaktub dalam Babad Dipanegara.

“Jika yang memegang pedang, juga sembari memegang uang, bagaimanakah ini? Apakah tidak semakin kapiran (terbengakalai)?” (BD IV:54, xxxv/47)

Ini adalah tanggapan Sang Pangeran atas permintaan panglima mudanya yang brilian dan jaya, Alibasah Sentot Prawiradirja pada Desember 1828, untuk selain memimpin pasukan juga diperkenankan memungut pajak pasar dari rakyat di daerah yang dikuasainya. Selama ini, administrasi pemerintahan dan anggaran ditangani oleh Raden Abdullah, Patih sang Pangeran. Namun ketika Stelsel Benteng Jenderal De Kock kian mempersempit area perang ke arah Mataram, Kedu, Bagelen, dan Banyumas serta memutus banyak jalur komunikasi; para panglima gerilya jadi kesulitan mengakses pendanaan perang ketika diperlukan.

Dengan masygul, mempertimbangkan hal ini, Pangeran Dipanegara mengizinkan Sentot menjalankan ‘dwifungsi’, hingga kebijakan ini kelak akan menjadi blunder. Di saat pemungut pajak Sentot terasa menekan dan memberatkan rakyat, De Kock justru memerintahkan dibebaskannya pajak dari daerah yang telah dikuasai Belanda, membagi-bagi bajak secara gratis, menaikkan upah buruh, dan hanya meminta masyarakat kerjabakti membantu pembangunan benteng. Simpati rakyat kepada Pangeran Dipanegara anjlok, dan sebagian memilih bergabung serta tinggal di wilayah yang dikuasai penjajah.

Di sisi lain, kegesitan Sentot berkurang. Pasukannya yang amat menakutkan Belanda sepanjang 1825-1828 kian sering terlambat merespons gerakan musuh. Sibuk mengadministrasi pajak dan menata anggaran, pada pertengahan 1829 benteng besar Belanda di Nanggulan, titik penting di Lembah Progo terlanjur terlalu kuat ketika diserang sehingga pasukan Sentot mengalami kekalahan besar. Kekalahan ini disusul malapetaka Pertempuran Siluk, September 1829 di mana Sentot dan Sang Pangeran sendiri bersama 700 pasukan nyaris dihancurkan oleh pasukan 3 komandan Kolone Mobil Belanda; Kolonel F.D Cochius, Letkol Le Bron De Vexela, dan Sollewijn.

Pada Oktober 1829, Sentot akhirnya berhasil dibujuk Belanda melalui kakaknya, Bupati Wedana Mancanegara Timur, Rangga Prawiradiningrat dari Madiun untuk menghentikan perang. Semula Sentot mengira, syarat berat yang dia ajukan ke Belanda seperti 500 kuda pilihan, 1000 seragam bersorban, ransum terbaik, tidak minum khamr, hingga pangkat Kolonel, akan ditolak. Tapi Belanda ternyata rela membayar semua itu demi berakhirnya perang dan takluknya panglima paling mematikan ini.

Dengan sedih Sang Pangeran kehilangan Sentot yang lalu dikirim ke Sumatera untuk berperang dengan kaum Paderi yang belakangan dia sadari ternyata adalah saudaranya. Sentot menolak melanjutkan pertempuran di Minangkabau, lalu diapun dibuang ke Bengkulu.

Rahimallaahul mujaahidiina fii kulli makaan, fii kulli zamaan.


Posted

in

by

Tags: