Alkisah, demikian Mitch Albom menuturkan sebuah hikayat dari mahagurunya dalam Tuesdays with Morrie, sebuah gelombang kecil asyik bermain enjot-enjotan di tengah lautan.
Ia naik dan turun. Ia maju dan mundur. Ia berputar dan bergulung-gulung. Ia berayun-ayun. Ia begitu bahagia seolah segalanya takkan berakhir. Dengan riang ia nikmati angin sejuk dan udara basah yang bertiup lembut. Begitu segar sepoi-sepoi.
Begitulah sampai suatu saat dalam jarak yang tak lagi jauh dari pantai, ia menyaksikan gelombang-gelombang lain di depannya pecah, terhempas berhamburan begitu menyentuh daratan. Pada akhirnya, semua akan hancur berantakan. Tak wujud lagi. Tanpa bekas. Tak berjejak.
“Oh Tuhan”, ujarnya bergidik, “Alangkah mengerikan.” Ia memandang dirinya. Ia memang merasa lebih besar kini dibanding tadi ketika masih di tengah samudra. Tapi apa artinya bertambah ukuran jika kebinasaan telah begitu dekat? “Lihat!”, pekiknya ketakutan saat menatap tepian, “Akan seperti mereka itukah nasibku nanti?”
Sebuah gelombang lain yang lebih dewasa segera menjajarinya. Melihat kemurungan di wajah saudaranya itu, bertanyalah gelombang kedua kepada yang pertama.
“Ada apa denganmu? Mengapa engkau tampak begitu sedih hingga tubuhmu menciut lagi?”
Sang gelombang pertama menukas sendu. “Engkau tidak mengerti!”, katanya dengan nada putus asa, “Semua gelombang seperti kita akan memukul karang-karang pantai. Kita semua pasti akan kalah, pecah, terhambur, dan hancur. Tidakkah kau sadar bahwa kita semua akan binasa dan lenyap tanpa sisa? Tidakkah itu mengerikan?”
Gelombang kedua tersenyum. “Kawan”, ujarnya dengan mesra, “Ketahuilah bahwa engkau bukanlah gelombang. Engkau adalah bagian dari lautan.”
Semenjak membaca kisah ini, kita pasti akan menatap takjub betapa sosok demi sosok ombak tak takut hancur dipecah karang. Itu sebab mereka insyaf diri sebagai bagian tak terpisahkan dari samudera akbar yang terus bergelora.
Begitulah kita dalam dekapan ukhuwah, diberikan peran-peran sejarah oleh jama’ah untuk bergerak, memberi pemandangan indah pada dunia. Tetapi hakikatnya kita semua adalah bagian dari satu ummat, sebentuk lautan dengan keagungan tak bertepi.
Dalam dekapan ukhuwah, sebuah kesadaran menyeruak bahwa kita yang merasa seagung gelombang, sedahsyat ombak, atau seriuh riak, hakikatnya hanyalah bagian dari lautan. Dan di sanalah, dalam penyatuan itu, kita menjadi bernilai.
“Tangan Allah”, demikian sabda Rasulullah ﷺ yang dibawakan Imam At Tirmidzi, “Ada bersama jama’ah.”